Rabu, 26 Agustus 2009

Muhammad Jadul Maula (mantan Direktur LKiS Yogyakarta): NU Tergerus Efek Neolib


Bagaimana pandangan Anda tentang perjalanan Khittah Nahdlatul Ulama (NU)?
Membaca Khittah NU antara tahun 1984 dan pasca reformasi merupakan dua realitas berbeda. Sebelum reformasi, NU berada dalam rezim Orde Baru yang korporasi kekuasaan negara sudah terbentuk dengan sistem ketat. Suasana kebatinan NU waktu itu sangat tidak nyaman sehingga muncul semangat yang besar untuk keluar dari rezim kekuasaan yang otoritarian. Lalu lahirlah konsep khittah NU 1926.

Khittah selalu dimaknai sebagai keluar dari politik?
Maknanya tidak sesederhana NU keluar atau tetap berpolitik. Khittah dapat dimaknai sebagai saksi terhadap situasi zaman. NU menempatkan diri menjadi dinamisator dari situasi ketika itu. Lahirnya khittah bertemu dengan momentum wacana civil society yang memang secara idologis dan ilmu sosial sudah terbentuk. Sebagai Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berhasil meng-create suatu gerakan yang menempatkan NU menjadi simpul dari berbagai aspirasi gerakan civil society. Dukungan kondisi zaman membuat NU benar-benar menjadi organisasi yang disegani.

Di zaman reformasi?
Zaman reformasi situasinya berubah. Dimana terdapat regulasi yang memungkinkan masyarakat membolehkan mendirikan partai politik. Pendirian partai politik menjadi suatu kebutuhan. NU memang harus ikut mendirikan partai agar ada saluran representasi untuk terlibat dalam kehidupan bernegara. Seluruh elemen masyarakat, seperti Muhammadiyah dan kelompok masyarakat lain ikut mendirikan partai. Kerena memang menjadi tuntutan zaman.

Tapi kok politik NU tambah runyam?
Proses awal tidak masalah. Hubungan NU dan PKB serta partai politik dirumusan dengan sangat baik. Ada nilai Khittah plus 9 pedoman berpolitik NU. Tapi kemudian pada pelaksanaannya belum tersosialiasi. Tidak ada pelembagaan sistematis di NU yang mengerjakan sosialisasi tersebut. Faktornya komplek. Diantaranya kultur untuk mengimplemenatasi belum terjadi.

Jadi siapa yang patut disalahkan?
Ini bukan kesalahan orang per orang. Ini memang akibat munculnya liberalisasi politik yang sejalan juga dengan liberalisasi ekonomi. Kemudian memunculkan banyak gejolak di masyarakat. Di dunia politik permintaan posisi banyak sekali sementara kemampuan mensuplai sedikit. NU belum punya mekanisme yang dapat mensuplai kader, mana yang ke politik, mana yang ke pendidikan dan ke bidang lain. Maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan peran. Perubahannya yang cepat tapi kemampuan antisipasi adaptasi tidak imbang. Saya ibaratkan seperti kayu jati. Dulu kayu jati ditebang setelah puluhan tahun untuk menjaga kualitas. Namun karena permintaan banyak, pohon jati yang masih muda sudah ditebang. Jadi masih PMII atau baru lulus pesantren, tapi tidak pernah belajar politik, karena populer sudah jadi anggota DPR. Padahal mereka belum matang. Jadi kejadiannya gejolak seperti ini.

Apakah lantaran elit NU lebih asyik berpolitik praktis?
Ini bukan semata-mata penentunya adalah karena manajemen organisasi tidak jalan yang disalahkan syahwat politik. Soal manajemen dan kaderisasi sudah terjadi sejak lama. Memang ketika KH A Hasyim Muzadi menggantikan Gus Dur harapannya adalah manajemen NU lebih baik. Karena kita tahu Gus Dur sangat lemah dalam hal manajemen. Tapi faktanya belum ada perubahan signifikan soal manajemen. Ada yang lebih mendasar secara umum pesantren juga belum siap menghadapi perubahan realitasi politik.

Ketidaksiapan itu apa efek yang paling dirasakan?
Lahir inkredibilitas diantara para ulama dan tokoh NU. Tidak cuma itu, terjadi pula distrust antara para kiai juga sekarang ini terjadi. Mereka saling curiga lantara perbedaan orientasi politik. Ini memang menyedihkan. Tapi saya percaya kiai dan ulama mempunyai kearifan dan dapat memilah mana kepentingan pribadi dan NU secara keseluruhan. Sehingga semua persoalan dapat diatasi dan selesai melalui tradisi NU.

Dahulu konflik antar pengurus NU dapat diredam dengan salawat badar. Kenapa sekarang tidak ampuh lagi?
Ini memang efek neolib yang sangat kepada umat. Prinsip neolib itukan persaingan individu melalui mekanisme pasar. Ini menyebabkan hubungan-hubungan sesama manusia menjadi anonim. Tradisi NU tergerus neolib.

Atau karena salawat badar sudah terkapitalisasi juga?
Ha.. ha.. ha.. memang terjadi degradasi spiritual. Orang NU tidak sadar. Yang berkuasa itu jiwa, nafsu atau hati. Dulu sangat diperhatikan tradisi di pesantren seperti muru'ah untuk mengendalikan nafsu. Saya tidak tahu apakah ilmu seperti itu masih dipraktekkan di pesantren NU. Sehingga dalam menghadapi situasi neolib NU larut apa tidak.

Anda melihat adakah faktor eksternal yang mempengaruhi situasi NU saat ini?
Memang perlu dicermati, apakah faktor eksternal, dalam hal ini negara ikut campur dan andil terhadap kondisi NU. Kalau yang bikin kisruh NU itu kalangan internal pasti dapat diselesaikan. Tapi kalau faktor eksternal yang ikut main tentuk harus kita lawan bersama.

Apa kepentingan negara ikut campur?
NU punya massa yang besar. Negara tentu butuh NU untuk menjadikan legitimator atas kebijakaan dan stabilitas serta kooptasi negara terhadap masyarakat.n saefullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar