Minggu, 06 September 2009

Pesantren Ramadhan “Bela Negara” Asshidiqiyah

Tumbuhkan kesadaran potriotisme santri

ASHADI AHZA
KEBON JERUK

-----------------
Santri tak melulu berkutat dengan ilmu agama. Juga harus paham prinsip-prinsip dasar membela negara, untuk menghapus stigma bahwa pesantren tempat kaderisasi teroris.
-----------------

PONDOK Pesantren (Ponpes) Asshidiqiyah Jakarta adalah salah satu pesantren yang punya komitmen terhadap pentingnya kesadaran mebela negara. Di bulan suci Ramadhan ini, pesantren asuhan KH Noer Mohammad Iskandar SQ tersebut mengadakan kegiatan yang dibingkai lewat Pesantren Ramadhan “Bela Negara”.

Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari, Jumat (4/9) dan Sabtu (5/9) di Kompleks Ponpes Asshidiqiyah Kebun Jeruk, Jakarta Barat yang dikuti 150 peserta terdiri dari perwakilan pesantren se-DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Nara sumber yang dihadirkan dari berbagai disiplin keahlian, di antaranya Drs Muhtar Hadiyu MSi (pakar pengembangan patriotisme), Drs Khoirul Fuad Yusuf (Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI) dan Joko Pramono Shidiq (Departemen Pertahanan). Hadir pula pada anggota komisi I DPR, Drs Slamet Effendi Yusuf.

Ketua panitia, Mahrus Iskandar menuturkan, pesantren sebagai basis pendidikan dan kaderisasi Islam, terbukti memiliki peranan penting dalam perjuangan dan upaya mempertahankan kemerdekaan RI.

“Dengan pesantren yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, menyimpan potensi besar untuk menjaga negara dari berbagai ancaman,” katanya pada Duta, Sabtu (5/9) kemarin.

Akhir-akhir ini, lanjut Mahrus, pesantren wajah sedikit 'tercoreng' karena dikaitkan dengan ulah teroris di negeri ini. Tak berlebihan jika kemudian Amerika Serikat (AS) mulai membidik pesantren sebagai basis terorisme di Indonesia. Dalam hal ini, salah satu yang paling dibidik adalah kurikulum dan pola pengajarannya.

Stigmatisasi terhadap pesantren sebagai sarang teroris ini, papar Mahrus, disebabkan adanya oknum pesantren yang terbukti melakukan tindakan teror. Para pelaku pemboman di Bali, Jakarta dan daerah-daerah lain yang kebetulan sebagian pelakunya adalah santri pondok pesantren, secara otomatis mengakibatkan citra buruk pondok pesantren di mata masyarakat Indonesia, dan bahkan masyarakat internasional.

“Mereka mencurigai pesantren telah menjadi ajang penyemaian teroris. Bahkan, ada pihak yang mengusulkan supaya kurikulum pondok pesantren diubah,” tandasnya.

Pahami jihad

Di sisi lain, Khoirul Fuad Yusuf menyatakan, konsep jihad dalam Islam memang dipelajari di pesantren. Namun ada beberapa kalangan yang salah dalam mengartikannya.

Jihad diartikan sebagai aktivitas mengangkat senjata dan membunuh musuh dalam kondisi apapun. Pemahaman semacam ini, katanya, merupakan pemahaman yang salah, dan inilah yang menimbulkan tuduhan bahwa kekerasan yang dilakukan sebagian umat Islam merupakan ajaran Islam itu sendiri.

“Islam sama sekali tidak membenarkan kekerasan, anarkis, dan terorisme. Di dalam kurikulum pendidikan pesantren juga tidak diajarkan kekerasan, apalagi tindakan teror,” tandas mantan peneliti senior di Litbang Depag RI.

Menurut Khoirul, jihad yang dipelajari di pesantren sangat berbeda dengan terorisme. “Jihad adalah salah satu metode dakwah sebagai pembelaan diri terhadap umat Islam, yaitu untuk mempertahankan agama, diri, harta dan kehormatan,” katanya.

“Hal ini tentunya sangat jauh berbeda dengan teror yang merupakan tindakan untuk menakut-nakuti, melakukan kekerasan sehingga menimbulkan korban harta atau jiwa.”
Sementara Isfah Abidal Ziz, fasilitator Pesantren Bela Negara mengatakan diklat ini menjadi penting mengingat makin kuatnya persaingan antara bangsa-bangsa.

“Bela negara sekarang ini tidak hanya tanggung jawab militer saja, juga para santri. Santri harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjaga keselamatan dan kejayaan bangsa sekarang,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar