Rabu, 26 Agustus 2009

Muhammad Jadul Maula (mantan Direktur LKiS Yogyakarta): NU Tergerus Efek Neolib


Bagaimana pandangan Anda tentang perjalanan Khittah Nahdlatul Ulama (NU)?
Membaca Khittah NU antara tahun 1984 dan pasca reformasi merupakan dua realitas berbeda. Sebelum reformasi, NU berada dalam rezim Orde Baru yang korporasi kekuasaan negara sudah terbentuk dengan sistem ketat. Suasana kebatinan NU waktu itu sangat tidak nyaman sehingga muncul semangat yang besar untuk keluar dari rezim kekuasaan yang otoritarian. Lalu lahirlah konsep khittah NU 1926.

Khittah selalu dimaknai sebagai keluar dari politik?
Maknanya tidak sesederhana NU keluar atau tetap berpolitik. Khittah dapat dimaknai sebagai saksi terhadap situasi zaman. NU menempatkan diri menjadi dinamisator dari situasi ketika itu. Lahirnya khittah bertemu dengan momentum wacana civil society yang memang secara idologis dan ilmu sosial sudah terbentuk. Sebagai Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berhasil meng-create suatu gerakan yang menempatkan NU menjadi simpul dari berbagai aspirasi gerakan civil society. Dukungan kondisi zaman membuat NU benar-benar menjadi organisasi yang disegani.

Di zaman reformasi?
Zaman reformasi situasinya berubah. Dimana terdapat regulasi yang memungkinkan masyarakat membolehkan mendirikan partai politik. Pendirian partai politik menjadi suatu kebutuhan. NU memang harus ikut mendirikan partai agar ada saluran representasi untuk terlibat dalam kehidupan bernegara. Seluruh elemen masyarakat, seperti Muhammadiyah dan kelompok masyarakat lain ikut mendirikan partai. Kerena memang menjadi tuntutan zaman.

Tapi kok politik NU tambah runyam?
Proses awal tidak masalah. Hubungan NU dan PKB serta partai politik dirumusan dengan sangat baik. Ada nilai Khittah plus 9 pedoman berpolitik NU. Tapi kemudian pada pelaksanaannya belum tersosialiasi. Tidak ada pelembagaan sistematis di NU yang mengerjakan sosialisasi tersebut. Faktornya komplek. Diantaranya kultur untuk mengimplemenatasi belum terjadi.

Jadi siapa yang patut disalahkan?
Ini bukan kesalahan orang per orang. Ini memang akibat munculnya liberalisasi politik yang sejalan juga dengan liberalisasi ekonomi. Kemudian memunculkan banyak gejolak di masyarakat. Di dunia politik permintaan posisi banyak sekali sementara kemampuan mensuplai sedikit. NU belum punya mekanisme yang dapat mensuplai kader, mana yang ke politik, mana yang ke pendidikan dan ke bidang lain. Maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan peran. Perubahannya yang cepat tapi kemampuan antisipasi adaptasi tidak imbang. Saya ibaratkan seperti kayu jati. Dulu kayu jati ditebang setelah puluhan tahun untuk menjaga kualitas. Namun karena permintaan banyak, pohon jati yang masih muda sudah ditebang. Jadi masih PMII atau baru lulus pesantren, tapi tidak pernah belajar politik, karena populer sudah jadi anggota DPR. Padahal mereka belum matang. Jadi kejadiannya gejolak seperti ini.

Apakah lantaran elit NU lebih asyik berpolitik praktis?
Ini bukan semata-mata penentunya adalah karena manajemen organisasi tidak jalan yang disalahkan syahwat politik. Soal manajemen dan kaderisasi sudah terjadi sejak lama. Memang ketika KH A Hasyim Muzadi menggantikan Gus Dur harapannya adalah manajemen NU lebih baik. Karena kita tahu Gus Dur sangat lemah dalam hal manajemen. Tapi faktanya belum ada perubahan signifikan soal manajemen. Ada yang lebih mendasar secara umum pesantren juga belum siap menghadapi perubahan realitasi politik.

Ketidaksiapan itu apa efek yang paling dirasakan?
Lahir inkredibilitas diantara para ulama dan tokoh NU. Tidak cuma itu, terjadi pula distrust antara para kiai juga sekarang ini terjadi. Mereka saling curiga lantara perbedaan orientasi politik. Ini memang menyedihkan. Tapi saya percaya kiai dan ulama mempunyai kearifan dan dapat memilah mana kepentingan pribadi dan NU secara keseluruhan. Sehingga semua persoalan dapat diatasi dan selesai melalui tradisi NU.

Dahulu konflik antar pengurus NU dapat diredam dengan salawat badar. Kenapa sekarang tidak ampuh lagi?
Ini memang efek neolib yang sangat kepada umat. Prinsip neolib itukan persaingan individu melalui mekanisme pasar. Ini menyebabkan hubungan-hubungan sesama manusia menjadi anonim. Tradisi NU tergerus neolib.

Atau karena salawat badar sudah terkapitalisasi juga?
Ha.. ha.. ha.. memang terjadi degradasi spiritual. Orang NU tidak sadar. Yang berkuasa itu jiwa, nafsu atau hati. Dulu sangat diperhatikan tradisi di pesantren seperti muru'ah untuk mengendalikan nafsu. Saya tidak tahu apakah ilmu seperti itu masih dipraktekkan di pesantren NU. Sehingga dalam menghadapi situasi neolib NU larut apa tidak.

Anda melihat adakah faktor eksternal yang mempengaruhi situasi NU saat ini?
Memang perlu dicermati, apakah faktor eksternal, dalam hal ini negara ikut campur dan andil terhadap kondisi NU. Kalau yang bikin kisruh NU itu kalangan internal pasti dapat diselesaikan. Tapi kalau faktor eksternal yang ikut main tentuk harus kita lawan bersama.

Apa kepentingan negara ikut campur?
NU punya massa yang besar. Negara tentu butuh NU untuk menjadikan legitimator atas kebijakaan dan stabilitas serta kooptasi negara terhadap masyarakat.n saefullah

Laode Ida: Bobot Sebagai Moral Force Hilang


Begitu banyak hal yang harus dikritisi dari perjalanan NU dari masa ke masa. Perkembangan jaman membuat ormas keagamaan terbesar di tanah air ini menghadapi persoalan yang menuntut pemecahan secara cerdas. Reorientasi perlu dilakukan NU. Ini pandangan Laode Ida, pengamat NU yang juga Wakil Ketua DPD RI.

=============================

PADA dasawarsa 1980-an dan 1990-an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses ‘kembali ke khitthah 1926’: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik.

Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi ‘dicurigai’ oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya tidak lagi dilarang dan malah sering ‘difasilitasi’. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.

Tetapi terjadi perubahan lain yang lebih mengejutkan: di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktifitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Selama ini NU dianggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran baik keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik.

Perihal pemikiran keagamaan, NU justru didirikan sebagai wadah para kiai untuk bersama-sama bertahan terhadap gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang diwakili oleh Muhammadiyah, Al Irsyad dan Persis. NU hanya menerima interpretasi Islam yang tercantum dalam kitab kuning ‘ortodoks’, al-kutub al-mu`tabarah, terutama fiqh Syafi’i dan aqidah menurut madzhab Asy’ari, dan menekankan taqlid kepada ulama besar masa lalu.

Pembaharuan pemikiran Islam, boleh dikatakan, secara prinsip bertentangan dengan sikap keagamaan NU. Dalam sikap politik dan sosial pun, NU dikenal sangat pragmatis dan kurang orisinal. Ketika Herb Feith dan Lance Castles menyusun sebuah antologi tentang pemikiran politik Indonesia setelah kemerdekaan (Indonesian Political Thinking 1945-1965. Cornell University Press, 1970), mereka mencantumkan tulisan dari semua aliran politik kecuali NU karena memang hampir tak ada satu pun pemikir politik NU yang menonjol saat itu.

Bobot politik
NU memang punya bobot politik yang cukup besar, karena massa yang bisa dimobilisasi dalam krisis politik. Pada zaman revolusi, dan juga pada zaman peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, orang NU telah memainkan peranan sangat menonjol -sebagai unsur utama laskar Hizbullah dan Sabilillah pada 1945-49, dan sebagai pelaku utama pembunuhan terhadap orang-orang PKI pada 1965-66. Berkat kekuatan fisiknya, NU memainkan peranan penting dalam perubahan politik dua masa peralihan tersebut. Tetapi sumbangan penting itu tidak pernah dapat diterjemahkan menjadi pengaruh nyata dalam pemerintahan, dewan perwakilan, maupun masyarakat sipil.

Dua figur NU yang paling menonjol pada masa peralihan tersebut, KH A Wahid Hasyim dan Subchan ZE, kemudian disingkirkan (dimarginalisir) dari sistem politik. Massa NU tak dilibatkan dan tetap berada di pinggiran. Tokoh NU yang bisa survive dekat pusat kekuasaan ialah KH Idham Chalid, politisi gaya lama yang tidak mewakili sikap atau ideologi tertentu dan selalu bisa beradaptasi dengan setiap perubahan.
Perlu dicatat bahwa Kiai Idham dengan segala kelonggarannya dalam berpolitik, agaknya, lebih mewakili pendirian kiai NU ketimbang tokoh seperti Wahid Hasyim atau Subchan ZE. Para kiai di daerah tidak pernah punya ambisi mengurusi negara, membuat undang-undang atau mempengaruhi kebijaksanaan sosial dan ekonomi.

Kebutuhan mereka lebih sederhana dan pragmatis: pesantren harus hidup, dan pengusaha di daerah yang mendukung kiai memerlukan tender. Dalam hal ini, Kiai Idham sangat pandai memenuhi kebutuhan daerah dan menjembatani jarak pusat daerah melalui hubungan patronase yang ia jaminkan.

Dengan latar belakang ini, aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan ekonomi di sekitar pesantren yang mulai menjamur pada akhir dasawarsa 1970-an dan 1980-an, dan munculnya wacana-wacana baru, yang berani mempertanyakan interpretasi khazanah klasik yang sudah mapan dan mencari relevansi tradisi Islam untuk masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat, merupakan suatu perkembangan revolusioner.

Akar rumput terabaikan

Baik dalam aktivitas LSM maupun dalam wacana yang berkembang, perhatian mulai bergeser dari para kiai sebagai tonggak organisasi NU kepada massa besar ‘akar rumput’ yang merupakan mayoritas jamaahnya tetapi kepentingannya selama ini lebih sering terabaikan.

Dominasi aktivitas dan wacana NU oleh elit tradisional, yang terdiri dari para kiai besar pendiri NU dan keturunan mereka (kaum gus-gus), telah mulai terdobrak. Sebagian besar aktifis dan pemikir muda yang memberi nuansa baru kepada NU pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an tidak berasal dari ‘kasta’ kiai melainkan dari keluarga awam, yang mengalami mobilitas sosial.

Penarikan diri NU dari politik praktis membawa keuntungan dan kerugian sekaligus, baik bagi NU sebagai organisasi maupun bagi orang-orangnya. Kalau dulu patronase (dalam bentuk bantuan dari pemerintah dan berbagai macam fasilitas) mengalir melalui organisasi NU, dari PBNU ke wilayah dan cabang, setelah keputusan Situbondo setiap kiai bebas menjalin hubungan dengan bupati atau gubernur.

Dengan demikian, pengaruh pengurus pusat terhadap warga di daerah menurun drastis, dan sebagai organisasi NU kehilangan sanksi efektif untuk memaksakan loyalitas warganya. Akibatnya, NU tidak berbicara dengan satu suara lagi dalam perkara sosial dan politik yang penting, dan dengan begitu bobotnya sebagai moral force dalam sistim politik Indonesia pun hilang.

Berdirinya PKB sebagai wadah politik baru warga NU, dan kemudian terpilihnya KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia merupakan tantangan lebih berat bagi gerakan progresif NU. Mereka harus memilih antara arena politik praktis dan ‘perjuangan di jalur kultural’ yang telah menjadi ciri khas mereka.n ufi, ful


=============================================

Kembalilah pada orientasi perjuangan awal

PERKEMBANGAN Nahdlatul Ulama (NU) dewasa ini dinilai Laode Ida banyak tidak beres. Yakni umat sebagai basisnya tidak tergarap dengan baik. Ia menilai ada tiga pilar di dalam NU, yaitu pertama pilar kebangsaan (nahdlatul wathan), kedua pilar ekonomi (nahdlatut tujar), dan ketiga pilar pemikir (tashwirul afkar). Namun ketiganya sekarang mengalami kerancuan dan tidak konsisten.

Sedikitnya ada tiga faksi yang berkembang dalam NU. Yakni faksi intelektual, aktivis, dan politis. Namun sayangnya nuansa politiknya sangat kuat, mereka berebut menduduki partai-partai politik terutama yang berbasis NU tanpa mengindahkan moralitas. Sehingga NU saat ini kurang menarik untuk dikaji karena sama dengan yang lain

"NU bisa tinggal organisasi papan nama, jika tidak segera mengembalikan orientasi perjuangannya untuk membangun umat. Organisasi masyarakat Islam terbesar itu bahkan terancam ditinggalkan warganya. Kalau tidak segera melakukan reorientasi, NU bisa ditinggalkan warganya dalam arti mereka tidak akan mengikatkan diri lagi secara organisatoris dan ideologis. Mereka hanya merasa ada hubungan historis saja," paparnya.

Dalam kondisi seperi itu, kata Laode, ikatan ke-NU-an akan semakin tidak berarti dan semakin tergusur dengan ikatan kepentingan yang lain yang lebih rasional, seperti ikatan ekonomi. Warga NU akan semakin sulit diarahkan oleh para elite NU, jika kepentingannya tak sesuai dengan kepentingan mereka.
Kegagalan sejumlah tokoh NU memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada) di wilayah yang sebenarnya basis NU, seperti di Bojonegoro, Jawa Timur, merupakan contoh kongkrit betapa ikatan emosional warga NU dengan organisasinya mulai melonggar.

Penyebab melonggarnya ikatan emosional warga NU dengan organisasinya, salah satunya adalah akibat perilaku elit NU sendiri yang lebih melibatkan diri atau terjebak dalam pragmatisme ketimbang memikirkan persoalan umatnya.

Terutama pragmatisme terkait kekuasaan dan materi. Perilaku semacam ini memudarkan derajat figur panutan dalam NU dan membuat warga merasa tidak ada manfaatnya mengikatkan diri secara organisatoris dengan NU.

Padahal, keberadaan figur merupakan salah satu pilar penyangga organisasi NU. Kondisi itu, katanya, berbeda dari organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dalan itu, dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kesadaran berorganisasi yang tinggi. Organisasi ini dijalankan oleh orang-orang terpelajar sehingga semangat berorganisasi terbangun baik, apalagi mereka merasa menjadi ada karena organisasi.

Sebenarnya sejak era 70-an, NU sudah mulai kehilangan kharakter sebagai organisasi berbasis umat. Hanya saja saat itu masih ada tokoh-tokoh yang konsisten dengan perjuangan keumatan NU. Pergeseran orientasi NU semakin nyata setelah reformasi.

Jika ingin tetap eksis di masa mendatang, NU harus kembali ke bidang garapannya semula, yakni membangun umat, serta mempersiapkan kader yang benar-benar mau dan bisa menjalankan organisasi.ful

Jumat, 14 Agustus 2009

Membagi Peran Politik


Bagaimana Kang Said melihat NU dan politik?

Politik itu penting. Tetapi berbicara NU Khittah, harus dijaga sebatas mana kiprah berpolitiknya sehingga NU tetap terselamatkan. Kalah atau menang NU-nya tetap selamat. Berhasil atau gagal, NU-nya harus selamat. Silahkan Khofifah Indarparawansa ingin jadi gubernur, Saifullah Yusuf jadi wakil Gubernur, Pak Hasyim Muzadi mencalonkan wakil presiden dan lain-lain. Pasti niatnya baik yakni demi kebesaran NU. Niat sudah baik, tapi harus iringi pula misi menyelamatkan kebesaran dan kemuliaan NU.

Katakanlah menang. Tapi apakah kemenangan dapat membawa kemaslahatan NU. Apakah bila tokoh NU menjabat jabatan publik lalu nasib jamaah akan “katut” menjadi sejahtera. Jangan pula ketika tokoh NU menjadi pemimpin, justru lebih memperburuk citra NU.

Dewasa ini apa yang berkembang di tubuh NU terkait dengan pelaksanaan khittah?

Sebetulnya ada dua kelompok motivasi NU dalam memandang Khittah. Ada yang benar-benar memandang khittah karena emosional lantaran tersakiti oleh pihak lain. Kelompok ini cenderung akan mudah kembali lagi ke kiprah politik. Sementara kelompok yang murni khittah akan tetap betahan dan konsisten menjaga agar NU tidak terlibat secara praktis.

Sebaiknya bagaimana?

Kalaupun bermain politik mestinya main yang cantik. Harus ada manajemen politik yang baik. Masing-masing harus memainkan peran bersinergi yang menguntungan NU. Misalnya, yang “main politik” jangan ketua umum. Bisa saja didelegasikan kepada ketua bidang politik. Kelemahan kita yang pemain politiknya justru top leader. Ketika permainan dilakukan ketua umumnya, hal yang negatif terdampak secara langsung.

Sisi lain adalah regenerasi dan kaderisasi. Yang tua harus mempersilahkan generasi muda. Kekurangan Pak Hasyim Muzadi jauh dengan yang muda. Sampai terlibat polemik di media massa dan dibaca orang luar dengan Saifullah Yusuf. Dia terbawa emosi sehingga bersikap tidak etis.

Perbincangan apa yang belakangan mendominasi pengurus dan kader NU, terutama di Gedung PBNU yang megah itu?
Saat ini justru kondisi PBNU memprihatinkan. Kantor PBNU sepi dari aktifitas intelektual. Sekarang yang dibicarakan selalu politik, politik, dan politik praktis. Menjadi pembicaraan keseharian, siapa yang “dapat” dan dapat apa, lalu siapa kalah dan siapa yang menang. Memprihatinkan.

Soal transparansi juga tidak ada. Kini saatnya NU menuju era manajemen yang baik. Ternyata tidak ada kemajuan PBNU. Dari sisi manajemen organisasi dan kesekretariatan yang belum ada perubahan. Kesimpulannya, walaupun NU dipandang besar. Mayoritas. 40 juta katanya, namun didalam keropos. Kalau saya menjadi ketua umum, akan serahkan peran-peran strategis kepada anak muda.

Prof Dr KH Said Aqil Siradj: Pentingnya Manajemen Khittah Profesional


Diskusi Reboan yang digelar pertama kalinya di Kantor Biro Jakarta, Rabu (15/7) lalu, menghadirkan dua tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Yakni Ketua Tanfidziyah PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siradj dan Ketua Umum PP Muslimat NU Dra Hj Khofifah Indarparawansa. Sangat gayeng hingga berlangsung lebih dari 2,5 jam. Perbicangan mengalir seputar problem yang dihadapi NU masa kini. Kritik dan koreksi terlontar baik dari narasumber maupun redaksi Duta Masyarakat Biro Jakarta. Rangkuman pendapat dalam diskusi itu disajikan dalam halaman khusus edisi Jumat dan Sabtu.


=============================================================

KARENA NU merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, maka saya akan bicara dari sisi sejarah Islam. Ketika Islam menjadi alat politik kehancuran Islam dimulai. Disitulah lahir fitnah dan konflik saudara mulai terjadi. Puncaknya terjadi saat perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, juga Ali dan Muawiyah. Tapi untung masih terselamatkan oleh beberapa ulama yang netral berfikir jernih. Berpolitik tapi membangun peradaban budaya ilmu pengetahuan Islam.

Dari sisi politik, sejak setelah jaman khulafaurrosyidin politik Islam X merah. Tidak ada kebanggan dari umat Islam oleh cara-cara berpolitik Muawiyah, Umaiyah, Abbasiyah, Usmaniyah. Tapi dari sisi kebudayaan perkembangannya sangat luar biasa. Tidak pernah terjadi kemajuan di dunia lain seperti pada kemajuan peradaban di Islam. Islam banyak melahirkan tokoh-tokoh jenius seperti Imam Syafi’i, Imam Buchori, Asya'ri, Mu'tazilah. Pemikiran mereka Tidak kalah dengan para filsuf Yunani.

Banyak ilmu pengetahuan ditemukan oleh intelektual Islam seperti Al Jabar, Astronomi, ilmu bumi, kamus, pandom, dan navigasi ada setelah Islam. Juga alat musik organ. Syafi'i melahirkan metodologi cara memahami al Qur'an dan hadits. Wal hasil Islam setelah 400 tahun itu masa puncak keemasan kebudayaan. Tapi secara politik tidak karu-karuan. Perang saudara. 400 tahun politik nol. Ini tertolong oleh produk ulama dibidang ilmu pengetahuan. Setelah itu masa kegelapan.

Kemudian ahlussunnah wal jamaah (aswaja) muncul yang dari sisi agama Imam Asy'ari ingin mengendalikan masyarakat agar tidak liberal tapi juga tidak boleh jumud. Tidak tekstual juga tidak mu'tazilah (liberal), kembali ke sunnah Rasul. "Qaulan wa fi'lan wa takriron" sesuai dengan sunnah Rasul ucapan, tindakan, sikap atau legitimasi itu ahlussunnah. Wal jamaah itu memberikan advokasi, memberi bimbingan kepada masyarakat. Jadi sejak lahirnya aswaja memang untuk kesejahteraan bukan untuk elit. Mu'tazilah itu elit. Tekstual dan ekstrim serta pakai jenggot sekarang.

Kenapa aswaja eksis? Karena meninggalkan politik praktis. Maka dalam kitab-kitab fiqih ahlussunnah itu tidak ada pembicaraan "faslun bil imamah as-siyasah" (pasal yang menjelaskan kepemimpinan politik). Beda dengan syiah atau mu'tazilah pasti ada bab yang menerangkan khusus tentang kepemimpinan politik. Kalaupun di aswaja, ada "fashlun imamah" hanya sebagai iman salat Jumat.

Dari sini terlihat bahwa Aswaja berjasa besar meningkatkan mengembangkan dan meningkatkan kualitas peradaban Islam. Menjaga tidak ada kepentingan politik, kepentingan etnis dan kepentingan lain. Maka lahirlah ulama sufi, seperti Al-Ghozali yang berjuang Islam tanpa kepentingan politik.

Sejak lahir, NU berangkat dari pesantren. Pesantren dulu dibangun oleh para kiai yang lari dari pusat kota. Cirebon ada 3 beradusara kiai lari dari keraton. Kakak pertama, KH. Sholeh membangun pesantren Benda, Kerep. Nyai Maimunah membangun pesantren Gedongan yang menurunkan saya. Dan Kiai Abbas Buntet. Ketiganya lari dari keraton. Artinya lari dari politik. Soal alasan lari lantaran kalah karena keraton sudah dikuasai Belanda, itu urusan lain.

Pesantren didirikan oleh para ulama yang menjauhi politik. Yang konsentrasi menyelamatkan perkembangan aqidah dan ahlak. Perkembangan selanjutnya setelah abad 19 Kiai wahab pulang dari Makkah. Lalu melihat ada Boedi oetomo, ada Syariat Islam ada kelompok abangan yang sudah ada perkumpulan.

Kiai Wahab lalu punya gagasan, kalangan santri harus punya wadah aktifitas yang tidak berpolitik tapi sosial dalam rangka memperkuat infrastrukur sosial. Sebab tidak mungkin akan ada pergerakan tanpa ada ikatan. Kiai wahab keliling Indonesia justru ingin membentuk wadah yang kemudian bernama Nahdlatul Ulama (NU). Tujuannya memperkuat infrastrukur sosial berasaskan Islam Aswaja. Belum sama sekali tentang politik kekuasaan. Tidak ada agenda dalam Kiai Wahab untuk politik kekuasaan. Tapi memperkuat dulu ideologi Islam yang bersinergi dengan semangat kebangsaan.

Kiai wahab, kiai sarungan, sudah punya pandangan sangat jauh yang memandang Indonesia bukan sebagai negara agama tapi nation state (negara bangsa). Itu mewarnai jagat kiai se Nusantara. Semua menerima konsep sinergi nilai Islam universal dan semangat kebangsaan. Kiai wahab mempersilahkan saja sosialis plus religius. Semua menerima konsep mensinergikan antara nilai Islam universal dengan semangat kebangsaan. Bukan nasionalis sebagai ideologi tapi sebagai semangat. NU berjalan baik dengan gagasan besar yang bermanfaat yang dirasakan bangsa Indonesia. Sampai Indonesia merdeka, NU memiliki andil besal.

Setelah NU sering dibohongi dalam berpolitik. Terakhir oleh HJ Naro pada pertarungan politik di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pada dasarnya dikerjai oleh HM Soeharto. Maka kiai-kiai arif dengan keputusan kembali ke khittah 1926 dalam Muktamar NU di Sitobondo. Tidak untuk kepentingan kekuasaan. NU bebas nilai perebutan kekuasaan. Silahkan ambil jabatan politik. Kalau orang NU mau ambil silahkan, asal tidak mengatasnamakan NU.

Ini sangat idealis. Dengan syarat kepemimpinan atau manajemen ditata yang baik, semua dari PBNU hingga ke bawah harus tahu manajemen khittah. Jadi bukan Khittah emosional atau khittah strategis, bukan ideologis. Setidaknya ada beberapa hal dalam manajemen khittah.

Pertama, manajemen khittah yang profesional dengan kemandirian. Ini yang berat bagaimana mengelola NU yang besar dengan mandiri. Karena harus punya dana sendiri. Kedua, keterbukaan. Pertama memang maklum. Selanjutnya akan tanda tanya besar, kemana, berapa? Apapun keterbukan yang tidak ada. Seluruh kegiatan NU, harus terbuka ada laporan dengan jelas. Seperti Harlah, ICIS, dan acara lain yang sukses dana kurang atau lebih tidak ada yang tahu. Keempat, at ta'awun, bagaimana membangun kerjasama dengan siapa saja tanpa kepentingan politik. Kalau benar-benar khittah, manajemennya harus at ta’awun al al-birri wa at-taqwa. Kalau kita membawa NU ke arah kepentingan politik tertentu, pasti tidak akan terjadi ta’awun yang menyeluruh. Pasti akan ada kemacetan komunikasi dengan kelompok politik tertentu.

Kamis, 13 Agustus 2009

Perlu fatwa haram money politics


Nahdlatul Ulama (NU) akan muktamar ke-32 di Makassar. Apa harapan Anda?

Kita harus memulai dan tradisikan kepemimpinan NU mendatang berasal dari hasil output kaderisasi organisasi. Jangan sampai kepemimpinan NU lahir dari sebuah kepentingan jangka pendek.

Maksudnya?

Para pemimpin NU haruslah yang pernah mengikuti proses kaderisasi dari bawah. Misalnya, dia harus pernah melewati proses kaderisasi di IPNU, Ansor, Fatayat dan organisasi NU lain. Jangan sampai, karena kepentingan pramatis, lalu tiba-tiba ada orang yang muncul menjadi pemimpin NU. Ini tidak baik bagi pengembangan organisasi. Karena pasti, dia tidak mengerti secara mendalam persoalan ke-NU-an.

Memimpin NU itu ibarat seorang dirigent yang memimpin musik orkestra. Jadi diperlukan pemahaman yang mendalam. Ini penting untuk melakukan refungsionarisasi badan-badan otonom dan lembaga.

Persoalannya saat ini banyak pengurus NU yang bersikap pragmatis. Kapitalisme sangat berpengaruh. Sehingga kemungkinan money politics terjadi pada muktamar mendatang. Pandangan Anda?

Memang. Kapital dalam arti kongkrit terlalu menonjol. Kalau muktamar NU mendatang, siapapun yang jadi kandidat harus betul-betul menghindari money politics. Tidak boleh ada. Muktamirin harus ikut memperbaiki NU yang kini sedang terpuruk. Harus dipahami kalau ada orang membayar pemilih untuk menjadi ketua umum PBNU, saat itu pula dia sedang menghancurkan NU. NU harus menjadi organisasi patron moral. Ketika di partai politik atau organisasi lain menggunakan cara-cara seperti itu (money politics), maka NU sebagai organisasi keagamaan harus berbeda. Kalau cara yang sama digunakan, lalu apa gunanya. Kalau sudah tak ada bedanya, kebangkrutan ulama sedang dimulai.

Perlukah langkah yang efektif untuk mencegah cara seperti itu?

Yang paling memiliki otoritas dalam hal ini adalah para ulama. Sebelum muktamar perlu diadakan Munas Alim Ulama. Lalu dalam munas itu para ulama mengeluarkan fatwa untuk mengharamkan memilih seorang pemimpin dengan cara membayar. Kalau ini bisa dilalukan sangat dahsyat. Ulama harus berfikir dengan huruf, jangan terlalu banyak dengan angka. Kalau ulama sudah bertanya berapa? Maka kita sudah kehilangan segala-segalanya.

Gagasan yang bagus. Ngomong-ngomong apa Anda siap memimpin NU?

Saya ini orang NU. Hampir sebagian hidup dicurahkan untuk NU. Di rumah saya, tidak ada gambar selain gambar NU. Hari-hari komunikasi yang menonjol selalu tentang NU. Di birokrasi sering mengkomunikasikan agar orang-orang NU yang ada di birokrasi memperoleh peningkatan karir. Saya maido (jengkel) kalau ada orang NU di birokrasi yang tidak diperhatikan oleh atasannya.

Anda siap meninggalkan politik praktis?

Saya siap meninggalkan kegiatan politik praktis. Tapi saya akan menggunakan seluruh pengalaman dan kemampuan politik untuk membangun NU. Politik dalam pengertian politik moral. Politik etika dan politik kenegaraan. Bukan politik keberpihakan pada kelompok tertentu. Sekarang bisa anak-anak sudah besar. Sudah tidak lagi menjadi tanggungan. Apalagi yang mau dicari? Sebentar lagi Munas Golkar. Sebetulnya banyak DPD Golkar yang minta saya tetap terlibat. Tapi, saya katakan tidak. Mereka tanya, “Mas Slamet mau kemana?” saya jawab gampang, ke masjid juga bisa ibadah.

*Wawancara wartawan DUTA, Saefullah, dengan Slamet Effendy Yusuf.

Slamet Effendy Yusuf: Ulama harus pegang kendali


------------------
Edisi ketiga Diskusi Reboan, Rabu (29/8), menghadirkan Slamet Effendy Yusuf. Mantan ketua umum PP GP Ansor selama dua periode (1985-1995) ini menyoroti pendirian NU hingga mengembalikan peran ulama pada maqomnya. Berikut resume diskusi yang ditulis dengan gaya bertutur.
-------------------
KETIKA Nahdlatul Ulama (NU) melahirkan khittah tahun 1984, secara kebetulan atau memang momentumnya yang tepat, saya menjadi bagian dari sejarah fenomenal itu.
Waktu itu, pada akhir 1970-an di Kantor PBNU, Jl Kramat Raya 164, tidak ada sama sekali kegiatan, baik oleh PBNU mamupun badan otonom (banom). Kecuali Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), mungkin karena dinamika kampus yang dinamis. Sehingga NU dalam krisis kepemimpinan. Tidak ada arahan dari ulama NU kepada umat.
Ketika itu dimana keberadaan pemimpin NU? Ulama waktu itu ada di dua posisi. Sebagai pemimpin NU sekaligus pemimpin partai. Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid dan Sekjen PBNU KH Yahya Ubaid menjadi fungsionaris Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Terjadi politik dua kaki. Satu kaki di NU, sebelah kaki di PPP. Ini tentu tidak dapat dijalankan sekaligus secara bersamaan. Pimpinan NU waktu itu lebih banyak aktif di Jl Diponegoro, markas PPP sementara kantor NU di Kramat Raya seperti gudang, tak terurus.
Kondisi ini mengusik anak-anak muda NU. Dari diskusi panjang di antara anak-anak muda NU maka ditemukan sebuah jawaban, yakni NU harus kembali ke khittah. Anak muda NU menemukan momentum dengan memanfaatkan pengaruh KH Achmad Shiddiq (Jember). Saat yang bersamaan pula terjadi peristiwa politik tokoh-tokoh NU tersingkir dari PPP.
Terjadi sebuah koinsidensi antara ketidakpuasan para kiai dengan tindakan Pak Idham yang melindungi para politisi PPP dengan teman-teman yang punya gagasan strategis menyelamatkan NU. Seperti kapal, kepemimpinan Pak Idham kena angin burita. Maka jalan kembali ke khittah menjadi arus besar dalam gerakan NU.
Ketika khittah NU ditetapkan, NU tidak berada di ruang kosong. NU berada dalam gelombang perjalanan bangsa dengan segala lika-likunya. Dalam khittah NU yang diambil dari pidato iftitah KH Hasyim Asy’ari, tidak ada di situ kegiatan yang bersifat politik. Hanya dinyatakan bahwa NU sebagai organisasi tidak berhubungan dengan organisasi manapun.
Kepada anggotanya diberi kebebasan untuk melakukan tindakan politik. Sebagai organisasi, NU dilarang untuk berpolitik praktis. Tetapi sebagai perorangan tidak.
Dalam Muktamar NU di Situbondo, ada dua hal yang sangat penting diputuskan. Pertama, yaitu meneguhkan berdirinya kembali NU sebagai jam’iyah diniyah ijtimaiyah. Kedua, bagi NU, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila sudah final.

Kelokan sejarah NU
Khittah merupakan kelokan paling penting dalam perjalanan sejarah NU. Organisasi ini didirikan sebagai jam’iyah, lalu tahun 1945 terlibat pembentukan Masyumi, dimana KH Hasyim Asyar’i sebagai Majelis Syuro. Itulah kelokan pertama NU terlibat politik praktis. Tapi NU masih tetap sebagai organisasi jam’iyah. Tahun 1955, NU benar-benar menjadi partai politik.
Muncul pertanyaan, ketika kemudian dalam perjalanannya NU kembali ke khittah apa yang harus dilakukan? Ulama harus kembali memegang kendali organisasi. Tanfidziyah ditempatkan sebagai supporting elemen kepemimpinan ulama. Supporting dalam organisasi sangat penting. Kepemimpinan NU bagaimanapun juga tetap harus di tangan ulama.
Ada dua kamar dalam kepemimpinan NU, yakni kamar tanfidziyah dan syuriyah. Yang memegang direction kepemipinan adalah ulama kamar syuriah. Kamar Tanfidziyah, kualifikasinya bisa ulama bisa bukan. Tapi Tanfidziyah harus orang yang memiliki kemampuan pengelolaan organisasi. Harus punya kemampuan manajerial menggerakan organisasi. Kepemimpinan NU harus dapat memanfaatkan keseluruhan organisasi. Ada pembagian tugas yang jelas di antara badan otonom dan lembaga.

Pesantren sebagai kekuatan
Langkah selanjutnya pengembangan sumberdaya manusia harus menjadi perhatian NU. Membangun kembali kepercayaan pesantren sebagai kekuatan NU. Kita juga harus mengembalikan peran ulama ke maqom yang seharusnya diemban, yakni pesantren.
Secara organisatoris NU tidak boleh bergeser dari jam'iyah diniyah. Tetap pada semangat khittah awal tidak berada dalam dataran politik pratis. Tapi di dalam jam'iyah diniyah.
Perlu diketahui, NU lahir tahun 1926 di Surabaya. Ini sebuah kota di luar Jakarta, yang paling punya minat kepada pendirian organisasi pergerakan politik. Tapi kenapa ulama mendirikan NU sebagai jam'iyah, bukan organisasi politik?
Jadi, NU sebagai organisasi jam'iyah adalah takdir yang harus diterima dan dijaga. Dan perjalanan ke depan sesulit apapun masa yang akan dilalui NU harus tetap menjadi organisasi jam'iyah diniyah.*

Hj. Khofifah Indarparawansa: Khittah tak diikuti penguatan sistem*


Sebagai pimpinan badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) yang beranggotakan jutaan ibu-ibu ini, Khofifah sangat dikenal. Sosoknya cerdas dan lincah. Ini membuatnya berhasil mengembangkan Muslimat NU menjadi organisasi yang lebih maju. Sudah dua periode ini dia memimpin Muslimat NU. Berikut ini rangkuman pandangan Khofifah yang disajikan dengan gaya bertutur.

======================

Saya ingin berangkat dari dinamika eksternal dan internal NU. Kedua kondisi itu harus kita telaah bersama-sama dan komprehensif. Sejak NU dibangun tahun 1926, 1947, dan 1952, variabel internal atau eksternal tidak bisa dibiarkan begitu saja sebagai variabel yang sangat berpengaruh bagi NU maupun badan otonomnya.

Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman Muslimat NU. Di Jawa Timur, Muslimat memiliki lebih 600 RA (Raudhotul Afal), namun terpaksa harus ganti kelamin menjadi TK (taman kanak-kanak). Perubahan itu jelas atas pengaruh variabel eksternal. Sebab, Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) hanya memberikan bantuan baik ketenagaan, operasional dan fungsional hanya kepada guru-guru TK. Maka kalau RA ingin eksis dan gurunya memperoleh tunjangan yang setara dengan guru TK, RA-RA harus ganti kelamin menjadi TK.

Contoh lain, Majelis Taklim harus menjadi bagian dari BKMT (Badan koordinasi Majelis Taklim). Kenapa? Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag) hanya memberi bantuan tahunan kepada majelis taklim yang bergabung dalam BKMT. Artinya, bantuan itu datang dari pemerintah atau eksternal.

Yang juga sangat serius untuk mendapat perhatian adalah madrasyah-madrasah NU yang nasibnya sudah di ujung titik kritis akibat dari SD dan SMP digratiskan. Pemerintah kembali menjadi faktor eksternal yang membuat kita tidak dapat berbuat apa-apa. Inilah perbedaan kondisi NU di tahun 1926, 1947, 1952 dengan sekarang.

Oleh karena itu, tidak boleh tidak, NU harus merespon serius. Misalnya membagi diri antara fungsi jam'iyah dan fungsi harakiyah (fungsi gerakan di luar diniyah dan istima’iyah). Persoalan eksternal sering mengintervensi secara langsung proses kapitalisasi di tubuh NU. Kita jelas harus bertindak. Kalau mau lurus-lurus, pihak lain yang ngaduk-ngaduk kita.

Hal itu sudah terjadi pada Kongres Muslimat di Batam. Tidak ada satu pun peserta, utusan, cabang ataupun wilayah yang saya bayar. Lalu datanglah Mbak Yenny (Wahid), Mas Imin (Muhaimin Iskandar), DPR, DPRD PKB se-Indonesia didatangkan untuk mbayari. Lalu muncullah Bu Lily (Wahid) sebagai calon. Tapi lantaran tidak memenuhi syarat diganti Mbak Musda (Mulia). Jadi ada faktor eksternal, baik orang dalam maupun luar NU, yang ikut merusak tatanan NU.

Ada pendekatan yang harus dikaji secara serius dan mendalam. Pertama, melalui pendekatan sistem. NU sebagai suprasistem, punya sistem-sistem seperti banom, lajnah dan lembaga. Banom sebagai subsistem punya subsistem lagi. Misalnya, Muslimat ada yayasan pendidikan, punya panti asuhan, rumah sakit dan lain sebagainya. Jadi, melihat NU tidak cukup melihat PBNU tapi harus melihat NU sebagai the hole system.

Kedua, pendekatan struktural fungsional. Apakah struktur yang ada di NU dan lembaga sudah fungsional secara maksimal? Contoh, pendidikan NU yang belum maksimal. Mestinya harus memaksimalisasi fungsi dan peran Lembaga Ma’arif. Juga bagaimana maksimalisasi dan struktur lembaga dakwah. Dulu, Kiai Said Aqil Siradj sering cerita, gimana kok yang jadi ahli dzikir, Arifin Ilham, pendakwah Aa Gym. Padahal kiai-kiai NU, sesungguhnya ahli dzikir dan pendakwah, tapi tidak mampu memaksimalkan fungsinya. Artinya, NU lebih kuat kultur daripada struktur. Kepemilikan lebih banyak ke pribadi daripada organisasi. Ini tidak ringan untuk transformasi dari kepemilikan pribadi ke organisasi.

Selama ini juga tidak pernah ada job description antara PBNU dan banom maupun lembaga. Selama memimpin Muslimat hingga masuk periode kedua, PBNU tidak pernah memberikan guidance. “Hai Muslimat tugasmu begini, nanti Fatayat begini, IPNU itu, Ansor begitu.” Kalau PBNU tidak melakukan hal itu, masa depan NU tidak pernah berjalan secara sistemik.

Coba renungkan fungsi IPNU. Memangnya IPNU disiapkan untuk apa dan untuk siapa? Sudah saya desak PBNU harus membuat juklak kaderasi IPNU dan IPPNU. Tujuannya agar para kader IPNU dan IPPNU dapat mengerti dirinya disiapkan untuk kader NU sesuai dengan tantangan jamannya. Kalau NU tidak menyiapkan kader, berapa puluh tahun lagi kita tidak bisa mengharapkan NU akan eksis seperti yang kita idealisasikan.

NU harus punya master plan dengan guidance yang dibuat oleh orang yang profesional. Dalam muktamar mendatang rasanya belum mungkin membuat master plan. Tapi masih memungkinkan direncanakan. Sebuah guidance untuk banom dan lembaga agar memiliki pegangan dalam menjalankan organisasi. Sekarang ini justru pengurus PBNU tidak mengerti kalau NU adalah payung. “Masa PBNU ngerjain kegiatan narkoba?” Mestinya kegiatan itu cukup distribusikan ke banom seperti IPNU biar ada kegiatan.

Mekanisme antara PBNU dan banom tidak dibangun secara programatik. Sehingga progam dijalankan oleh siapa yang bisa mengakses ke sumber-sumber tertentu. Saya berharap akan ada mekanisme komunikasi secara programik dan sistematik. Sehingga betul-betul ada maksimalisasi fungsi-fungsu dari struktur yang begitu banyak dimiliki NU.

Pendekatan kultural (yang lebih kuat), pendekatan struktural fungsional dan pendekatan sistem. Ini harus ada penggabungan sebagai satu kesatuan untuk berbenah NU ke depan. Kalau tidak, akan sulit berkembang. [saefullah & mufied]

*Tulisan ini adalah resume Diskusi Reboan yang diselenggarakan oleh Harian Umum DUTA MASYARAKAT. DIsampaikan pada 22 Juli 2009

Karena SDM NU pas-pasan


Politik menjadi daya tarik yang begitu kuat bagi kader NU ketimbang profesi lain. Bisa Anda jelaskan?
Kader NU terseret pada kooptasi politik atau kapitalisasi, problemnya antara lain (tidak semua) adalah kesejahteraan. Banyak kader NU yang ingin cepat berubah nasib. Nah, cara paling mudah adalah melalu jalur politik.

Kenapa bisa demikian?
Karena rata-rata kualitas SDM kader NU pas-pasan. Dunia politik tidak banyak membutuhkan persyaratan yang rumit. Kadang, cukup bermodal mantan ketua cabang IPNU atau mantan pengurus PMII, dengan sedikit “tipu-tipu” karirnya dapat melejit melebihi profesi lain. Semisal, dokter, insiyur atau ilmuan yang butuh persyaratan intelektual yang ketat. SDM yang pas-pasan itu, membuat alternatif untuk masuk profesi lain tidak dapat dilakukan. Ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, betapa banyak jabatan komisaris, direksi, direjen, tapi kita ternyata kader NU tidak memiliki kulaifikasi SDM yang memenuhi kualifikasi pada pos-pos tersebut.

Jadi kader NU tidak siap berkompetisi?
Ya. Kalau orang NU disuruh kompetisi secara kualitatif, benar-benar tidak kompatibel lho. Kenapa? Karena perguruan tinggi NU tidak terurus. Ceritanya lain bila perguruan tinggi NU terurus dengan baik. Pastilah akan sangat banyak melahirkan doktor dari perguruan-perguruan tinggi NU. Itu sekaligus menjadi kebanggaan NU. Seberapapun kualitasnya kalau doktor pasti banyak tempat. Bisa mengajar dibanyak tempat, menjadi konsultan atau menulis.

Apa yang membuat SDM NU lemah?
Ternyata khittah NU 1926 tidak diikuti sistem dan penguatan struktur. Ketika khittah diputuskan, NU tidak segera membenahi sistem penguatan organisasi di luar politik. NU tidak segera melangkah bagaimana membangun sistem pendidikan, metode dakwah dan sebagainya. Sehingga khittah sebagai nilai juga menjadi rapuh. Kalau teori Samuel Huntington mengatakan pendekatan struktur fungsional, maka struktur harus berjalan seiring dengan fungsi yang dimaksimalkan. Sekarang, apa yang dilakukan Ma’arif ketika kondisi madrasah NU “menangis”, banyak SMP NU “meradang” diambang bangkrut. Kecuali pondok besar yang masih bisa bertahan. Pada tataran seperti ini roh Nahdlatut Tujjar harus bangkit kembali dengan pendekatan profesional.

Bukankah kekuasaan juga penting?
Tentu. Karena kekuasaan memiliki peran dalam menentukan kebijakan yang berpihak pada jam’iyah. Hal ini sangat penting ketika kita berhadapan dengan kondisi eksternal yang cukup massif mempengaruhi internal NU. Maka posisi strategis menjadi penting untuk meng-endors soliditas NU. Karena tidak orang lain yang akan intervensi ke dalam.

*Wawancara wartawan DUTA MASYARAKAT, Saefullah, dengan Khofifah Indar Parawansa.

NU diserang liberalisme dan radikalisme


KETIKA Nahdlatul Ulama (NU) kembali ke khittah 1926, ada tiga hal penting yang harus dikembangkan. Yaitu bidang sosial (mabarrat), pendidikan yang ditangani Lembaga Pendidikan Maarif NU dan dakwah yang ditangani LDNU. Sebab, tiga hal itulah ruh perjuangan NU yang sebenarnya.

Terkait dengan pengembangan dakwah NU, saya atas nama LDNU baru saja datang dari Lebanon. LDNU berkerjasama dengan Global University, Lebanon. Global University mayoritas diisi orang ahlussunnah wal jamaah. Rektor universitas ini adalah Doktor Adnan. LDNU diundang oleh organisasi namanya Masyariqil Khoiriyah. Kalau di Indonesia, mereka itu NU-nya.

Setelah pertemuan itu, mereka ingin diundang ke Indonesia. Tapi saya berfikir, orang bisa protes karena watak orang Lebanon sangat keras. Idealisme kita dan mereka sama, tapi penerapannya yang beda. Sebab, di Lebanon, orang Sunni dan Syi’ah hidup berdekatan, tapi setiap hari saling serang. Jadi kalau saya mengundang mereka ke Indonesia, bisa protes semua.

Organisasi terhebat di Indonesia sebenarnya NU. Sebab, NU bisa diterima oleh masyarakat internasional. LDNU pernah menghadiri Muktamar Umat Islam di Libya yang dihadiri perwakilan 120 negara. Mereka menganut faham ahlussunnah waljamah, sama seperti NU. Pada pertemuan itu, semua peserta bilang, sampaikan Islam di dunia dengan sejuk.

Menurut saya, orang yang mengerti bahwa menyampaikan Islam yang sejuk itu adalah orang yang mengerti sufi dan thariqah. Tapi meskipun sama-sama ahlussunah wal jamaah, masing-masing negara penerapannya beda, karena kondisi negara yang beda pula.

Di tengah tantangan yang luar biasa, LDNU terus bergerak tiada henti. Seperti biasa, NU selalu menghadapi masalah dana dalam menjalankan kegiatan. Tapi itu bukan hambatan bagi LDNU. Kami telah bekerjasama dengan banyak pihak, termasuk dengan Departeman Agama, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Departemen Koperasi.

Salah satu wujud dari kerjasama itu adalah pelatihan kader dakwah untuk daerah transmigrasi, kawasan terpencil dan minoritas. Tahun 2009 ini, LDNU melatih 700 kader dakwah. Mereka akan memberikan bimbingan agama di daerah transmigrasi di berbagai daerah. Dengan adanya pelatihan ini, LDNU ini tidak hanya melatih keilmuan, tetapi juga tata cara berdakwah.

Dalam rangka memenuhi target 700 da’i dan da’iyah itu, LDNU menggumpulkan 50 anak muda dari daerah di Indonesia timur atau daerah-daerah transmigrasi di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Kita berikan kepada mereka kitab-kitab ahlussunah wal jamaah, dan banyak tokoh juga didatangkan untuk memberi materi latihan kepada mereka.

Dalam pelatihan itu, setiap malam mereka dibangunkan untuk diajak shalat malam. Jadi, LDNU menunjukkan praktik ahlussunah wal jamaah orang NU. Tidak hanya ngomong, tapi juga praktik langsung. Diajarkan kepada mereka tata cara adzan, ziarah kubur, shalat dan puasa pada hari Senin dan Kamis. Mereka juga diwajibkan qiyamul lail, tahlil dan amalan lainnya. Memang mendidik kepada anak muda itu tidak hanya teori, karena buku sudah banyak. Ini yang sekarang hilang, PMII saja sekarang ini dzikir saja tidak, apalagi shalat.

Pada pelatihan itu, LDNU mengajarkan dua hal prinsip, tentang kebenaran ahlusunnah wal jamaah dan ilmu menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Pelatihan dibagi per angkatan masing-masing terdiri dari rata-rata 50-100 orang.

Aspek praktek peribadatan sangat ditekankan mengingat belakangan ini semakin jarang umat Islam yang melaksanakan amalan-amalan sunnah. Padahal Rasulullah mengamalkannya setiap hari. Sekarang semakin jarang orang yang puasa Senin-Kamis dan sholat malam. Padahal selama sebelas tahun, Rasulullah hanya dua hari meninggalkannya karena sakit.

Mengapa pelatihan sengaja ditempatkan di pesantren? Tujuannya adalah untuk mendekatkan para da’i dan da’iyah dengan para kiai. Pesantren juga telah terbukti sebagai tempat yang unggul dalam menghasilkan kader-kader dakwah.

Pada 13-17 April lalu, LDNU juga mengadakan pelatihan serupa di Jambi yang melibatkan 30 peserta. Selama lima hari mereka mendapatkan pelatihan bagaimana memahami sosiologi masyarakat, retorika berpidato dan penguatan ajaran aswaja.

Kini, NU sedang menghadapi tekanan berat. Yaitu tekanan dari liberalisme dan radikalisme. Selain dakwah, bidang sosial dan pendidikan juga perlu dikembangkan lagi. Masjid-masjid NU juga banyak dikuasi oleh pihak lain. Masalahnya, yang punya idealisme dan perjuangan sangat sedikit.

Banyak yang bilang, NU punya banyak pesantren. Memang pesantren-pesantren itu NU. Tapi kalau dipikir-pikir kapan NU ngopeni (merawat) NU secara serius. Pondok Pesantren Langitan, Tuban, itu besar karena memang sejak dulu Langitan itu besar. Beda dengan Muhammadiyah, sejak masih SD sudah dirawat sehingga bisa besar. Jadi di NU itu, yang sering itu ngaku-ngaku (mengakui) saja.

Pesantren di Indonesia itu ada 16 ribu. Apa semua masuk RMI (Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama) atau asosiasi pondok pesantren NU? Tidak semuanya dan belum tentu. Mungkin takut didikte. Kalau di Muhamadiyah tidak seperti itu. Ini membutuhkan pemikiran dan gerakan yang luar biasa. Kata Kiai Faqih (Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, KH Abdullah Faqih), NU itu rumah abadi. Tapi kalau tidak dirawat, apa bisa abadi. Jadi, NU ini memang harus dirawat. Kalau tidak, akan terus digempur kelompok lain.

Ketika ada pertemuan di PBNU, 32 Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) datang. Dalam pertemuan itu, semua yang pidato isinya marah karena masjid NU dikuasai orang lain. Saya katakan, mari bersyukur kepada Allah banyak ideologi dari luar datang ke Indonesia. Banyak juga yang protes, kok malah bilang alhamdulillah. Saya katakan, kalau PKS dan aliran lain tidak datang, bapak-bapak tidak akan bergerak di wilayah. Masjid NU dikuasi mereka, karena bapak-bapak tidak bisa jadi pemimpin. Kalau bapak bergerak, masjid NU pasti tidak dikuasai orang.(TIM DUTA)

KH Nuril Huda: LDNU ingin menjadi banom


BEBERAPA waktu lalu, PP LDNU mendeklarasikan Asosiasi Bina Haji dan Umrah Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Langkah ini didasari fakta banyaknya jamaah haji Indonesia yang kemudian mereka meninggalkan ajaran ahlussunnah wal jamaah sesampainya di tanah air. Mereka kemudian mengira Qunut dan membaca wiridan bersama adalah Bid'ah.

Ini juga dilandasi komitmen LDNU untuk mempertahankan aqidah yang selama ini diyakini oleh NU. Ditengah banyaknya ideologi yang bertentangan, maka pembentukan asosiasi ini penting. Karena jamaah haji Indonesia mayoritasnya adalah warga Nahdliyyin dan menjadi sasaran 'pembodohan' kelompok di luar melalui berbagai buku saku yang diedarkan secara gratis di tanah suci.

Karena itu, sangat penting untuk memberikan penjelasan kepada para jamah Haji NU agar tidak terpengaruh oleh paham lain di luar paham Aswaja yang merupakan paham mayoritas muslim di seluruh dunia.

Diharapkan pada Muktamar ke-32 NU di Makassar, Januari 2010 nanti, LDNU bisa menjadi badan otonom NU. Bukan lembaga lagi seperti sekarang. Sebab lembaga hanya bersifat koordinatif. Tidak bisa langsung ke daerah-daerah. Anak-anak muda NU yang aktif dan tercatat di lembaga dakwah jumlahnya sekitar 48 ribu. Mereka adalah juru dakwah semua.

Ketika Kongres Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) di Malang, beberapa tahun lalu, Bung Karno yang hadir dengan lantang menyampaikan pidato menggugah semangat kaum muda. "Saudara-saudara, berikanlah saya seribu manusia tua, baru mengguncang Himalaya. Tapi berikanlah sepuluh pemuda, baru mengguncangkan dunia."

Sekarang ini, gerakan kelompok trans-nasional di Indonesia ini luar biasa. Perkembangan aliran Wahabi sangat luar biasa. Mereka punya dana besar untuk ‘nggebuki’ NU. Sementara itu, di kalangan NU sekarang ini yang ada hanya tiga putaran orang. Putaran pertama, lahir batin NU-nya, putaran kedua setengah-setengah NU-nya, dan putaran ketiga minta serta mencari makan di NU.

Khoirul Huda Basyir: Dakwah, ruh perjuangan NU


Rabu (12/08/09) lalu, Harian Umum DUTA MASYARAKAT mengundang Ketua LDNU dan Sekjen-nya dalam Diskusi Rutin hari Rabu yang dinamakan dengan Diskusi Reboan. Resume diskusi itu dimuat dalam Harian DUTA MASYARAKAT Edisi Jumat, 14 Agustus 2009. Berikut ini adalah wawancara wartawan DUTA dengan Khoirul Huda Basyir, Lc (Sekjen LDNU) di redaksi DUTA, Kramat Raya.

----------------------------

Apa yang telah dilakukan LDNU sebagai lembaga yang bergerak di bidang dakwah-nya NU?
Kita semua sepakat, dakwah itu menjadi ruhnya NU. Namanya ruh, kalau tidak ada kegiatan berarti sama dengan tidak ada atau mati. Sebab itu, LDNU ini menjadi ujung tombak NU. Seperti yang diamanahkan oleh PBNU, LDNU ini melaksanakan tugas PBNU dalam bidang dakwah. Karena itu, sejak awal, LDNU itu menanamkan beberapa hal. Pertama, menguatkan ke-NU-an orang NU.

Bisa dijelaskan tentang menguatkan ke-NU-an orang NU?

Jadi kita masih menyadari betul, bahwa meskipun orang NU itu jumlahnya besar, yang paham betul soal NU masih sangat sedikit. Sehingga meng-NU-kan orang NU itu menjadi tugas yang sangat penting. Termasuk dalam hal pemantapan dan pengembangan ajaran ahlussunnah wal jamaah.
Pak Hasyim (Ketua Umum PBNU KH A Hasyim Muzadi) sering bilang, dulu antara NU dan Muhammadiyah sering gontok-gontokan. Itu karena mereka paham dasar dan dalil keagamaan. Dan kalau sekarang semua adem ayam saja, itu bukan berarti mereka saling paham. Tapi rukun karena ketidaktahuan mereka.

Apa ini berarti pemahaman tentang NU sudah sangat terdegradasi? Termasuk pengurus NU sekalipun?


Sekarang ini banyak sekali warga NU, termasuk yang tinggal di pondok pesantren, tidak paham dengan ahlusunnah wal jamaah NU. Jika pemahamannya saja lemah, maka tingkat militansi dan perjuangannya pasti juga lemah. Sehingga ketika masuk pemikiran keagamaan lain, sangat mudah mengubah pola kehidupan beragama mereka.
Karena itu, LDNU juga melakukan pengembangan dan pembangunan citra paham ke-NU-an kepada seluruh umat. Saya kira ini menjadi bagian yang tak kalah penting pula. Selama ini sering dikatakan bahwa garapan NU di wilayah perkampungan. Tapi di kampung juga sering ditinggalkan, sementara di kota yang terjadi justru kampus-kampus, kompleks perumahan, telah banyak sekali orang NU yang tidak punya militansi.

Militansi menurun ini sepertinya menimbulkan kesan bahwa surga yang ditawarkan oleh NU tidak lagi menarik. Sekarang ini seolah-olah banyak yang tertarik dengan tawaran surga dari kelompok teroris. Apa betul demikian?

Tantangan yang dihadapi NU sekarang ini luar biasa. Orang lain memanfaatkan kelemahan NU. Kalau tidak ada upaya dan gerakan yang sistemik untuk membendung, 20 tahun yang akan datang, NU bisa masuk museum. Masih untung, jika masuk Museum NU di Surabaya.
Dakwah-dakwah harus kita kembangkan untuk menangkal dakwah-dawah yang belakangan muncul, yaitu radikalisme dan liberalisme. Membangun NU ini sama dengan membangun bangsa. Berdirinya bangsa ini tidak bisa lepas dari konstribusi NU. Anehnya, saat ini banyak pihak yang memandang rendah peran NU selama ini.

Kongkritnya apa yang harus dilakukan oleh NU dalam rangka berbenah diri?


Karena itu, telah sering disampaikan dalam banyak forum, dakwah NU dituntut mengikuti dinamika sosial. Harus profesional dan mengikuti tren zaman. Doktrin-doktrin keagamaan harus mampu mengejawantahkan kebutuhan umat.
Misi NU sejak awal dalam bidang dakwah ke depan memang harus terus dikembangkan. Itu juga harus diikuti dengan pengembangan di bidang ekonomi, pendidikan dan bidang-bidang yang lain. NU harus semakin optimal mengawal ahlussunnah wal jamaah di bumi nusantara ini.

Rabu, 12 Agustus 2009

Asal Nyaman, Bayar Mahal Bukan Masalah


Fitness Centre, pusat kebugaran sekaligus trendsetter



ASYHADI AHZA

MANGGARAI

------------------

Fitness centre tak lagi sebatas pusat kebugaran. Tapi sudah berubah menjadi lahan bisnis serta trendsetter di metropolis.

------------------

Gaya hidup pebisnis yang menghabiskan waktu berjam-jam di belakang meja bukanlah rutinitas yang sehat. Belum lagi ditambah kemacetan lalu lintas, kerja sehari penuh, dan sering makan siang menjamu relasi. Semua itu akan mempengaruhi bentuk tubuh, fisik, dan mental.

Belakangan, para pebisnis ini kian sadar pentingnya arti kesehatan. Mereka pun seolah berlomba memanfaatkan waktu senggang untuk merenggangkan otot dan otak di pusat kebugaran yang tumbuh subur di sejumlah pusat perbelanjaan alias mal.

”Jumlah pusat kebugaran di mal sekarang banyak sekali. Hampir di setiap mal ada, bahkan bisa lebih dari satu fitness centre,” ujar Teguh (30), manajer fitnes club pasaraya Manggarai.

Teguh mengaku, mereka yang pergi ke tempat fitness di mal, rata-rata eksekutif muda. Karena secara ekonomi mapan, mereka mengutamakan fasilitas dan kenyamanan. “Bagi mereka yang penting nyaman. Mungkin juga gengsi karena orang kaya,” jelas pria kelahiran Jakarta ini.

Di samping itu, lanjut Teguh, kedatangan mereka berkeringat di mal juga lantaran budaya metropolis. “Jakarta ini metropolitan, jadi mereka berusaha mengikuti arus budaya yang berkembang,” tambahnya.

Fitness First, misalnya. Pusat kebugaran yang berpusat di luar negeri ini hadir di Jakarta baru setahun tapi sudah memiliki tujuh cabang. Salah satu cabangnya terletak di Gedung Apartemen Oakwood, Kuningan. Rata-rata memiliki dua ribu anggota per bulan.

Setiap hari ada enam ratus orang yang datang untuk mencari keringat. Karena lokasinya berada di daerah perkantoran Mega Kuningan, anggotanya kebanyakan pekerja kantoran. Jam paling sibuk (peak hour) berlangsung pukul 18.00 hingga pukul 19.00.

Untuk menjadi anggota biasa, pengelola mematok Rp 400 ribu per bulan. Untuk anggota platinum Rp 500 ribu per bulan. Keuntungannya, anggota platinum bisa berlatih di cabang mana saja di seluruh dunia.

”Tadinya saya ikut fitness di perumahan di dekat rumah. Tapi setelah banyak tempat fitness di mal saya beralih, sekalian belanja gitu,” ujar Anggraini (27), karyawan bank swasta, anggota fitness Pasaraya Manggarai.

Nah, berkeringat di Jakarta ternyata banyak cara. Tapi bagi mereka yang berduit, kenyamanan dan gengsi tetap yang utama.*

Senin, 10 Agustus 2009

Halaman Jakarta 11 Agustus 2009

Punya ruang sendiri, anggap busway bukan saingan


OJEK SEPEDA, TRANSPORTASI TUA YANG MURAH MERIAH


------------------
Ojek sepeda terus bertahan. Merasa punya ruang tersendiri, alat transportasi modern seperti busway sama sekali tak dianggap pesaing.
------------------
BERBEKAL sepeda onthel tua, Syarwani mengantar penumpang menelusuri gang-gang sempit di pinggiran ibukota. Pria 58 tahun itu tak ambil pusing dengan modernitas Jakarta. Dia yakin, masih banyak ruang dan celah untuk menghidupi keluarganya.
Syarwani tak melihat transportasi modern seperti busway sebagai pesaing. “Busway bukan saingan bagi kami, karena tidak mungkin masuk gang-gang sempit di Jakarta,” katanya kepada Duta, Senin 10/8) kemarin.

25 tahun silam, Pria asli Karawang ini adalah salah satu buruh pabrik yang terpaksa beralih pekerjaan menjadi tukang ojek sepeda karena terkena PHK. "Tahun 1980 saya terkena PHK, dari pada menganggur terpaksa ngonthel,” kenangnya.

Sejak itu, sepanjang hari dia berlomba dengan deru mesin kendaraan. Pendapatannya saat ini antara Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per hari. "Kalau lagi mujur bisa dapat lebih. Tapi kalau apes, malah hanya bau keringat yang dibawa pulang," selorohnya.
Saat ini, lebih dari 200 orang berprofesi seperti Syarwani sebagai pengojek sepeda onthel yang kesehariannya mangkal di Stasiun Jakarta Kota.

Di sisi lain, A Jaini (40), pengojek lainnya, merasa sedih terhadap nasib ojek sepeda di Jakarta. "Mungkin, dulu kami dianggap sebagai salah satu penyebab kesemrawutan jalan, seperti becak. Tapi, kenyataannya sekarang, jalan-jalan masih tetap semrawut dan macet, padahal kehadiran kami hanya di beberapa jalan saja," kata pria asal Kebumen ini.

Di mata Jaini, sepeda onthel memiliki sejumlah kelebihan dibanding kendaraan bermotor. "Jika semua kendaraan di Jakarta tidak menggunakan mesin, saya yakin udara akan bersih dan mungkin tidak ada penyakit aneh-aneh."

Lanjut Jaini, sepeda adalah alat transportasi yang ramah lingkungan. Pemerintah daerah mestinya membuat jalur khusus untuk sepeda dan menjadikan ojek sepeda sebagai pilihan angkutan warga Jakarta. "Bahkan kalau bisa, kami dijadikan transportasi khas Jakarta, seperti delman," kata bapak tiga anak ini.

Belakangan, keberadaan ojek sepeda malah menjadi titik unik Jakarta. Pemerintah pusat pernah melakukan gerakan hemat BBM, mengurangi atau berhenti sama sekali menggunakan mobil pribadi untuk pergi kerja atau sekolah.

Pemprop DKI juga memulai gerakan bike to work, menggunakan sepeda untuk pergi kerja dan begitu pula pulangnya. Mungkin masih panjang perjalanannya, tapi gerakan ini terus digalakkan.
[ASYHADI AHZA/JAKARTA KOTA]

Minggu, 09 Agustus 2009

Tiga flyover batal dibangun

TERGANJAL PEMBEBASAN LAHAN

SELAIN belum mendapat persetujuan dari dewan, rencana Pemprop DKI Jakarta membangun jalan layang atau flyover (FO) di tiga tempat, FO Cakung, FO Jl Bandengan Utara, dan FO Jl Tubagus Angke, juga terganjal pembebasan lahan. Ketiga proyek ini diperkirakan menelan anggaran Rp 47 miliar.

Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI, FO Cakung rencananya dibangun sepanjang 1,5 kilometer dan lebar 14 meter. Anggaran yang dialokasikan dalam APBD DKI 2009 sebesar Rp 27 miliar. Rinciannya, untuk pembebasan lahan Rp 15 miliar, pembangunan fisik Rp 12 miliar. Konstruksinya memakai beton dan baja.

Sedangkan FO di Jl Bandengan Utara dan di Jl Tubagus Angke, masing-masing akan dibuat sepanjang 600 meter dan lebar 14 meter. Karena konstruksinya hanya menggunakan beton, anggaran yang dibutuhkan untuk pembuatan kedua flyover itu masing-masing sekitar Rp 5 miliar.

Sepanjang 2002-2007, Pemprop DKI telah membangun 22 jalan tak sebidang berupa FO dan Jembatan. Di antaranya FO Kebayoranlama, FO Pramuka, FO RE Martadinata, FO Yos Sudarso, FO Roxy, FO Pondokindah, dan FO TB Simatupang. Sedangkan pada 2008, hanya membangun dua jalan tak sebidang yaitu FO di Jl Latuharhari dan Jembatan Marunda.

Batalnya pembangunan ketiga FO tersebut dibenarkan Kepala Dinas PU DKI Jakarta Budi Widiantoro. Dia menegaskan, yang sudah pasti ditunda pengerjaannya yaitu pembangunan FO atau jalan tak sebidang di kawasan Bintara, Cakung, Jakarta Timur karena masih belum selesainya pembebasan trase tanah atau bakal lokasi jalan.

"Koordinasi sedang kami upayakan dengan Dinas Tata Ruang karena pembangunan infrastruktur ini termasuk dalam perencanaan pembangunan kota," kata Budi Widiantoro, Minggu (9/8).

Sedangkan FO di Jl Bandengan Utara dan Jl Tubagus Angke saat ini masih menunggu persetujuan anggota dewan. Lantaran, pembangunan kedua jalan tak sebidang ini dibangun dengan dana multiyears. Namun, lanjut Budi, proses tender untuk kedua flyover ini akan dilakukan pada tahun ini. “Masih dalam proses, tapi pembangunan fisik tidak bisa dilakukan tahun ini,” ujarnya.

Setuju multiyears

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Sayogo Hendro Subroto menjelaskan, penundaan pembangunan FO Cakung karena pembebasan lahan belum selesai. Dewan terpaksa menunda pembangunan hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
"Karena pembebasan lahan termasuk pekerjaan utama yang semestinya sudah rampung dilakukan Dinas PU, nyatanya hingga kini belum," kata Sayogo.

Belum selesainya pembebasan lahan itu merembet pula pada proses lelang yang tidak mungkin dilakukan tahun ini. Dia mengatakan Dinas PU DKI juga belum merampungkan desain dasar jalan tak sebidang tersebut.

Menurutnya, penundaan merupakan langkah yang terbaik karena belum selesainya proses pra konstruksi. "Pokoknya jangan terburu-buru dan asal membuat,” jelasnya.
Anggota Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) ini juga menjelaskan, dua FO sisanya yakni Bandengan dan Angke juga belum tentu dibangun tahun ini. Pasalnya, dewan akan melihat apakah kedua jalan tak sebidang ini termasuk prioritas untuk mengurai kemacetan dikawasan tersebut.

“Kalau kawasan itu tidak terlalu macet tidak usah dibangun FO, cukup dengan pengaturan lalu lintas saja,” sergahnya.

Kendati demikian, Sayogo mengakui keberadaan FO dan underpass memang dibutuhkan untuk mengurai kemacetan. Namun, kalau asal dibangun di daerah yang tingkat kemacetannya minim maka infrastruktur itu menjadi proyek sia-sia.

Untuk mendapat kepastian itu, Sayogo mengharuskan Dinas PU membawa proposal pembangunan FO lengkap dengan keadaan lalu lintas, pembebasan lahan yang sudah rampung, dan desain dasar.

Dia membantah jika ada anggapan dewan tidak menyetujui FO yang dibangun dengan anggaran sistem multiyears. Menurutnya, multiyears pilihan terbaik karena pembangunan flyover memerlukan biaya besar, sehingga kalaupun sudah tutup tahun, anggaran akan jalan terus.*

-------------------
RENCANA PEMBANGUNAN 3 FLYOVER

- FO Cakung
Panjang: 1,5 kilometer dan lebar 14 meter
Alokasi anggaran: Rp 27 miliar.
Rincian: Pembebasan lahan Rp 15 miliar, pembangunan fisik Rp 12 miliar.
Konstruksi: beton dan baja.

- FO Jl Bandengan Utara dan di Jl Tubagus Angke, masing-masing sepanjang 600 meter dan lebar 14 meter.
Alokasi anggaran: masing-masing Rp 5 miliar.
Konstruksi: beton
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI

Serunya Festival Layang-layang di Monas

FESTIVAL Layang-layang 2009 yang digelar Suku Dinas Pariwisata Jakpus berlangsung menarik dan meriah. Sejak pagi ratusan orang, baik tua, muda, serta anak-anak terlihat antusias saat memainkan layangannya di Lapangan Silang Monas Selatan, Minggu (9/8).

Kegiatan diawali penaikan tiga layang-layang berbeda, yakni berbentuk replika Monas oleh Asisten Pariwisata DKI Jakarta Aurora Tambunan, lalu replika ondel-ondel oleh Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Arie Budhiman, serta 'Go Green Jakarta' oleh Walikota Jakpus, Sylviana Murni.

"Kegiatan ini sebagai pendukung acara Jakarta Kites Festival Internasional yang berlangsung di Ancol," ujar Sylviana Murni.

Mantan Kepala Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah itu menambahkan, melalui kegiatan festival layang-layang, pihaknya mencoba menawarkan suatu rekreasi baru bagi keluarga Jakarta, khususnya di Jakarta Pusat.

Sementara itu, ketua pelaksana yang juga Kasudin Pariwisata Jakpus Dewi Susanti menjelaskan, peserta festival layang-layang ini diikuti 44 Kelurahan di lima Kecamatan di Jakpus, para SKPD Pemkot Jakpus, industri pariwisata, serta perwakilan dari beberapa negara sahabat.

Selain menikmati layang-layang, panitia juga mengadakan lomba melukis di atas layang-layang bagi anak-anak. "Setelah selesai melukis, mereka dapat langsung menerbangkan layangannya," kata Dewi.

Dalam festival itu, salah satu peserta memamerkan layang-layang yang panjangnya mencapai 300 meter, terdiri dari 300 layang-layang dalam satu tali. "Kita butuh waktu tiga bulan dan biaya sekitar Rp 400 ribu," ujar sang pemilik, Syarif Maulana (56) warga Cipinangmuara, Kalimalang, Jakarta Timur.*

Tinggal sisa sejarah, terancam punah karena persaingan

BEMO, TRANSPORASI TUA YANG HIDUP SEGAN MATI TAK MAU




Peremajaan bemo menjadi bus kecil membuat nasib 'becak motor' ini kian tak jelas. Ironisnya, mereka bisa melenggang bebas di jalanan ibukota tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan bermotor.

MEMANG, angkutan umum yang pernah menjadi primadona di era 1980-an itu hingga kini masih dapat kita saksikan menyusuri sejumlah jalur tertentu seperti Pasar Tanah Abang, Bendungan Hilir, Karet, Petamburan, Manggarai Stasiun Jakarta kota, dan beberapa daerah lain di ibukota.

Tapi buah pahit dari Instruksi Gubernur Nomor 33/1996 tentang peremajaan bemo menjadi bus kecil, sejak 1996 hingga sekarang surat-surat kendaraan produksi 1962 ini -- seperti Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan surat uji kelayakan jalan -- tak lagi dikeluarkan.

"Meski tak dilengkapi surat-surat kendaraan bermotor semua bemo masih bisa beroperasi di Jakarta. Rata-rata sopir juga tidak memiliki SIM. Paling hanya membayar administrasi (pungutan, red) kepada polisi, beres,” kata Ujang G (52).
Tapi, lanjut Ujang, nasib bemo menjadi tidak jelas, bahkan banyak yang gulung tikar karena kalah bersaing dengan angkutan umum lainnya. Di daerah Benhil misalnya, dari 100-an bemo yang bisa beroperasi hanya 60 saja.

Ya, usia menjadi salah satu penyebab bemo sulit bersaing. Di Jakarta, keberadaan kendaraan buatan Jepang ini tidak lagi sedap dipandang, penyot di sana-sini dengan cat usang dan kotor.

Tapi, namanya juga kendaraan wong cilik. Bahkan Ujang mengaku bemonya masih kuat menampung tujuh orang penumpang. Satu duduk di samping pengemudi, enam orang lainnya di bangku belakang, masing-masing tiga berhadapan, harus rela bersinggungan lutut, laki atau perempuan.

"Memang harus penuh, baru kemudian bemonya jalan," ujar Fitri (24), salah satu penumpang dari Salemba ke arah Manggarai saat dijumpai Minggu (9/8) kemarin.

Tak jauh berbeda dengan nasib bemo yang terombang-ambing, sopir kendaraan ini juga mengalami ketidakpastian dan kekurangan dalam memenuhi kebutuhan operasional.
Surendi (32), penarik bemo yang mangkal di Manggarai mengatakan pendapatan dari menarik bemo tidak stabil dan terus mengalami penurunan. "Kita paling cuma dapat Rp 30 ribu per hari setelah dipotong uang bensin Rp 40 ribu dan setoran Rp 50 ribu. Jumlah itu terasa kurang, tapi mau bagaimana lagi," ujarnya.

Pria asal Kuningan ini mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mencari suku cadang bemonya, dan rata-rata sopir bisa memperbaiki bemonya sendiri kecuali kerusakan yang dianggap penting harus dibawa bengkel.

Surendi mengganti ban bemonya setahun sekali. Harga kedua ban Rp 175 ribu. Paling mahal jika as roda rusak, harganya bisa Rp 250 ribu. Jika ada suku cadang yang harus diganti, dia pergi ke Tanah Abang. Di sana ada bengkel reparasi suku cadang bemo. “Jadi, pengeluaran bisa ditekan,” katanya.

Meski demikian, para sopir ini tetap bangga terhadap keberadaan bemo. Tak sebatas sebagai sumber penghasilan, juga karena bemo mengandung nilai sejarah tinggi dan merupakan satu-satunya alat transportasi di jaman pemerintahan Presiden Soekarno.
"Wah dulu kita sering mengantarkan penumpang hingga Istana Merdeka. Bemo menjadi sangat penting saat itu," cerita Warno (60), bangga.

Tapi kebanggaan itu bakal tinggal sejarah karena bemo tak lagi memiliki kekuatan hukum. Kapan saja bisa lenyap dari kota Jakarta, baik secara alamiah maupun karena kebijakan pemerintah daerah.*[ASYHADI AHZA/MANGGARAI].

Sabtu, 08 Agustus 2009

Harian Umum Duta Masyarakat

Harian Umum Duta Masyarakat tampil dengan wajah baru. Sejak bulan lalu merambah Jakarta dengan tampilan yang lebih atraktif, menarik, dan enak dibaca.

Alamat Redaksi/Iklan/Pemasaran:
Jln. Kramat VI No. 08 Jakarta Pusat 10430
Telp: 021-31906159
Faks: 021-31906214
email: duta.batavia@gmail.com