Jumat, 14 Agustus 2009

Prof Dr KH Said Aqil Siradj: Pentingnya Manajemen Khittah Profesional


Diskusi Reboan yang digelar pertama kalinya di Kantor Biro Jakarta, Rabu (15/7) lalu, menghadirkan dua tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Yakni Ketua Tanfidziyah PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siradj dan Ketua Umum PP Muslimat NU Dra Hj Khofifah Indarparawansa. Sangat gayeng hingga berlangsung lebih dari 2,5 jam. Perbicangan mengalir seputar problem yang dihadapi NU masa kini. Kritik dan koreksi terlontar baik dari narasumber maupun redaksi Duta Masyarakat Biro Jakarta. Rangkuman pendapat dalam diskusi itu disajikan dalam halaman khusus edisi Jumat dan Sabtu.


=============================================================

KARENA NU merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, maka saya akan bicara dari sisi sejarah Islam. Ketika Islam menjadi alat politik kehancuran Islam dimulai. Disitulah lahir fitnah dan konflik saudara mulai terjadi. Puncaknya terjadi saat perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, juga Ali dan Muawiyah. Tapi untung masih terselamatkan oleh beberapa ulama yang netral berfikir jernih. Berpolitik tapi membangun peradaban budaya ilmu pengetahuan Islam.

Dari sisi politik, sejak setelah jaman khulafaurrosyidin politik Islam X merah. Tidak ada kebanggan dari umat Islam oleh cara-cara berpolitik Muawiyah, Umaiyah, Abbasiyah, Usmaniyah. Tapi dari sisi kebudayaan perkembangannya sangat luar biasa. Tidak pernah terjadi kemajuan di dunia lain seperti pada kemajuan peradaban di Islam. Islam banyak melahirkan tokoh-tokoh jenius seperti Imam Syafi’i, Imam Buchori, Asya'ri, Mu'tazilah. Pemikiran mereka Tidak kalah dengan para filsuf Yunani.

Banyak ilmu pengetahuan ditemukan oleh intelektual Islam seperti Al Jabar, Astronomi, ilmu bumi, kamus, pandom, dan navigasi ada setelah Islam. Juga alat musik organ. Syafi'i melahirkan metodologi cara memahami al Qur'an dan hadits. Wal hasil Islam setelah 400 tahun itu masa puncak keemasan kebudayaan. Tapi secara politik tidak karu-karuan. Perang saudara. 400 tahun politik nol. Ini tertolong oleh produk ulama dibidang ilmu pengetahuan. Setelah itu masa kegelapan.

Kemudian ahlussunnah wal jamaah (aswaja) muncul yang dari sisi agama Imam Asy'ari ingin mengendalikan masyarakat agar tidak liberal tapi juga tidak boleh jumud. Tidak tekstual juga tidak mu'tazilah (liberal), kembali ke sunnah Rasul. "Qaulan wa fi'lan wa takriron" sesuai dengan sunnah Rasul ucapan, tindakan, sikap atau legitimasi itu ahlussunnah. Wal jamaah itu memberikan advokasi, memberi bimbingan kepada masyarakat. Jadi sejak lahirnya aswaja memang untuk kesejahteraan bukan untuk elit. Mu'tazilah itu elit. Tekstual dan ekstrim serta pakai jenggot sekarang.

Kenapa aswaja eksis? Karena meninggalkan politik praktis. Maka dalam kitab-kitab fiqih ahlussunnah itu tidak ada pembicaraan "faslun bil imamah as-siyasah" (pasal yang menjelaskan kepemimpinan politik). Beda dengan syiah atau mu'tazilah pasti ada bab yang menerangkan khusus tentang kepemimpinan politik. Kalaupun di aswaja, ada "fashlun imamah" hanya sebagai iman salat Jumat.

Dari sini terlihat bahwa Aswaja berjasa besar meningkatkan mengembangkan dan meningkatkan kualitas peradaban Islam. Menjaga tidak ada kepentingan politik, kepentingan etnis dan kepentingan lain. Maka lahirlah ulama sufi, seperti Al-Ghozali yang berjuang Islam tanpa kepentingan politik.

Sejak lahir, NU berangkat dari pesantren. Pesantren dulu dibangun oleh para kiai yang lari dari pusat kota. Cirebon ada 3 beradusara kiai lari dari keraton. Kakak pertama, KH. Sholeh membangun pesantren Benda, Kerep. Nyai Maimunah membangun pesantren Gedongan yang menurunkan saya. Dan Kiai Abbas Buntet. Ketiganya lari dari keraton. Artinya lari dari politik. Soal alasan lari lantaran kalah karena keraton sudah dikuasai Belanda, itu urusan lain.

Pesantren didirikan oleh para ulama yang menjauhi politik. Yang konsentrasi menyelamatkan perkembangan aqidah dan ahlak. Perkembangan selanjutnya setelah abad 19 Kiai wahab pulang dari Makkah. Lalu melihat ada Boedi oetomo, ada Syariat Islam ada kelompok abangan yang sudah ada perkumpulan.

Kiai Wahab lalu punya gagasan, kalangan santri harus punya wadah aktifitas yang tidak berpolitik tapi sosial dalam rangka memperkuat infrastrukur sosial. Sebab tidak mungkin akan ada pergerakan tanpa ada ikatan. Kiai wahab keliling Indonesia justru ingin membentuk wadah yang kemudian bernama Nahdlatul Ulama (NU). Tujuannya memperkuat infrastrukur sosial berasaskan Islam Aswaja. Belum sama sekali tentang politik kekuasaan. Tidak ada agenda dalam Kiai Wahab untuk politik kekuasaan. Tapi memperkuat dulu ideologi Islam yang bersinergi dengan semangat kebangsaan.

Kiai wahab, kiai sarungan, sudah punya pandangan sangat jauh yang memandang Indonesia bukan sebagai negara agama tapi nation state (negara bangsa). Itu mewarnai jagat kiai se Nusantara. Semua menerima konsep sinergi nilai Islam universal dan semangat kebangsaan. Kiai wahab mempersilahkan saja sosialis plus religius. Semua menerima konsep mensinergikan antara nilai Islam universal dengan semangat kebangsaan. Bukan nasionalis sebagai ideologi tapi sebagai semangat. NU berjalan baik dengan gagasan besar yang bermanfaat yang dirasakan bangsa Indonesia. Sampai Indonesia merdeka, NU memiliki andil besal.

Setelah NU sering dibohongi dalam berpolitik. Terakhir oleh HJ Naro pada pertarungan politik di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pada dasarnya dikerjai oleh HM Soeharto. Maka kiai-kiai arif dengan keputusan kembali ke khittah 1926 dalam Muktamar NU di Sitobondo. Tidak untuk kepentingan kekuasaan. NU bebas nilai perebutan kekuasaan. Silahkan ambil jabatan politik. Kalau orang NU mau ambil silahkan, asal tidak mengatasnamakan NU.

Ini sangat idealis. Dengan syarat kepemimpinan atau manajemen ditata yang baik, semua dari PBNU hingga ke bawah harus tahu manajemen khittah. Jadi bukan Khittah emosional atau khittah strategis, bukan ideologis. Setidaknya ada beberapa hal dalam manajemen khittah.

Pertama, manajemen khittah yang profesional dengan kemandirian. Ini yang berat bagaimana mengelola NU yang besar dengan mandiri. Karena harus punya dana sendiri. Kedua, keterbukaan. Pertama memang maklum. Selanjutnya akan tanda tanya besar, kemana, berapa? Apapun keterbukan yang tidak ada. Seluruh kegiatan NU, harus terbuka ada laporan dengan jelas. Seperti Harlah, ICIS, dan acara lain yang sukses dana kurang atau lebih tidak ada yang tahu. Keempat, at ta'awun, bagaimana membangun kerjasama dengan siapa saja tanpa kepentingan politik. Kalau benar-benar khittah, manajemennya harus at ta’awun al al-birri wa at-taqwa. Kalau kita membawa NU ke arah kepentingan politik tertentu, pasti tidak akan terjadi ta’awun yang menyeluruh. Pasti akan ada kemacetan komunikasi dengan kelompok politik tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar