Rabu, 26 Agustus 2009

Laode Ida: Bobot Sebagai Moral Force Hilang


Begitu banyak hal yang harus dikritisi dari perjalanan NU dari masa ke masa. Perkembangan jaman membuat ormas keagamaan terbesar di tanah air ini menghadapi persoalan yang menuntut pemecahan secara cerdas. Reorientasi perlu dilakukan NU. Ini pandangan Laode Ida, pengamat NU yang juga Wakil Ketua DPD RI.

=============================

PADA dasawarsa 1980-an dan 1990-an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses ‘kembali ke khitthah 1926’: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik.

Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi ‘dicurigai’ oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya tidak lagi dilarang dan malah sering ‘difasilitasi’. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.

Tetapi terjadi perubahan lain yang lebih mengejutkan: di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktifitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Selama ini NU dianggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran baik keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik.

Perihal pemikiran keagamaan, NU justru didirikan sebagai wadah para kiai untuk bersama-sama bertahan terhadap gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang diwakili oleh Muhammadiyah, Al Irsyad dan Persis. NU hanya menerima interpretasi Islam yang tercantum dalam kitab kuning ‘ortodoks’, al-kutub al-mu`tabarah, terutama fiqh Syafi’i dan aqidah menurut madzhab Asy’ari, dan menekankan taqlid kepada ulama besar masa lalu.

Pembaharuan pemikiran Islam, boleh dikatakan, secara prinsip bertentangan dengan sikap keagamaan NU. Dalam sikap politik dan sosial pun, NU dikenal sangat pragmatis dan kurang orisinal. Ketika Herb Feith dan Lance Castles menyusun sebuah antologi tentang pemikiran politik Indonesia setelah kemerdekaan (Indonesian Political Thinking 1945-1965. Cornell University Press, 1970), mereka mencantumkan tulisan dari semua aliran politik kecuali NU karena memang hampir tak ada satu pun pemikir politik NU yang menonjol saat itu.

Bobot politik
NU memang punya bobot politik yang cukup besar, karena massa yang bisa dimobilisasi dalam krisis politik. Pada zaman revolusi, dan juga pada zaman peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, orang NU telah memainkan peranan sangat menonjol -sebagai unsur utama laskar Hizbullah dan Sabilillah pada 1945-49, dan sebagai pelaku utama pembunuhan terhadap orang-orang PKI pada 1965-66. Berkat kekuatan fisiknya, NU memainkan peranan penting dalam perubahan politik dua masa peralihan tersebut. Tetapi sumbangan penting itu tidak pernah dapat diterjemahkan menjadi pengaruh nyata dalam pemerintahan, dewan perwakilan, maupun masyarakat sipil.

Dua figur NU yang paling menonjol pada masa peralihan tersebut, KH A Wahid Hasyim dan Subchan ZE, kemudian disingkirkan (dimarginalisir) dari sistem politik. Massa NU tak dilibatkan dan tetap berada di pinggiran. Tokoh NU yang bisa survive dekat pusat kekuasaan ialah KH Idham Chalid, politisi gaya lama yang tidak mewakili sikap atau ideologi tertentu dan selalu bisa beradaptasi dengan setiap perubahan.
Perlu dicatat bahwa Kiai Idham dengan segala kelonggarannya dalam berpolitik, agaknya, lebih mewakili pendirian kiai NU ketimbang tokoh seperti Wahid Hasyim atau Subchan ZE. Para kiai di daerah tidak pernah punya ambisi mengurusi negara, membuat undang-undang atau mempengaruhi kebijaksanaan sosial dan ekonomi.

Kebutuhan mereka lebih sederhana dan pragmatis: pesantren harus hidup, dan pengusaha di daerah yang mendukung kiai memerlukan tender. Dalam hal ini, Kiai Idham sangat pandai memenuhi kebutuhan daerah dan menjembatani jarak pusat daerah melalui hubungan patronase yang ia jaminkan.

Dengan latar belakang ini, aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan ekonomi di sekitar pesantren yang mulai menjamur pada akhir dasawarsa 1970-an dan 1980-an, dan munculnya wacana-wacana baru, yang berani mempertanyakan interpretasi khazanah klasik yang sudah mapan dan mencari relevansi tradisi Islam untuk masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat, merupakan suatu perkembangan revolusioner.

Akar rumput terabaikan

Baik dalam aktivitas LSM maupun dalam wacana yang berkembang, perhatian mulai bergeser dari para kiai sebagai tonggak organisasi NU kepada massa besar ‘akar rumput’ yang merupakan mayoritas jamaahnya tetapi kepentingannya selama ini lebih sering terabaikan.

Dominasi aktivitas dan wacana NU oleh elit tradisional, yang terdiri dari para kiai besar pendiri NU dan keturunan mereka (kaum gus-gus), telah mulai terdobrak. Sebagian besar aktifis dan pemikir muda yang memberi nuansa baru kepada NU pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an tidak berasal dari ‘kasta’ kiai melainkan dari keluarga awam, yang mengalami mobilitas sosial.

Penarikan diri NU dari politik praktis membawa keuntungan dan kerugian sekaligus, baik bagi NU sebagai organisasi maupun bagi orang-orangnya. Kalau dulu patronase (dalam bentuk bantuan dari pemerintah dan berbagai macam fasilitas) mengalir melalui organisasi NU, dari PBNU ke wilayah dan cabang, setelah keputusan Situbondo setiap kiai bebas menjalin hubungan dengan bupati atau gubernur.

Dengan demikian, pengaruh pengurus pusat terhadap warga di daerah menurun drastis, dan sebagai organisasi NU kehilangan sanksi efektif untuk memaksakan loyalitas warganya. Akibatnya, NU tidak berbicara dengan satu suara lagi dalam perkara sosial dan politik yang penting, dan dengan begitu bobotnya sebagai moral force dalam sistim politik Indonesia pun hilang.

Berdirinya PKB sebagai wadah politik baru warga NU, dan kemudian terpilihnya KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia merupakan tantangan lebih berat bagi gerakan progresif NU. Mereka harus memilih antara arena politik praktis dan ‘perjuangan di jalur kultural’ yang telah menjadi ciri khas mereka.n ufi, ful


=============================================

Kembalilah pada orientasi perjuangan awal

PERKEMBANGAN Nahdlatul Ulama (NU) dewasa ini dinilai Laode Ida banyak tidak beres. Yakni umat sebagai basisnya tidak tergarap dengan baik. Ia menilai ada tiga pilar di dalam NU, yaitu pertama pilar kebangsaan (nahdlatul wathan), kedua pilar ekonomi (nahdlatut tujar), dan ketiga pilar pemikir (tashwirul afkar). Namun ketiganya sekarang mengalami kerancuan dan tidak konsisten.

Sedikitnya ada tiga faksi yang berkembang dalam NU. Yakni faksi intelektual, aktivis, dan politis. Namun sayangnya nuansa politiknya sangat kuat, mereka berebut menduduki partai-partai politik terutama yang berbasis NU tanpa mengindahkan moralitas. Sehingga NU saat ini kurang menarik untuk dikaji karena sama dengan yang lain

"NU bisa tinggal organisasi papan nama, jika tidak segera mengembalikan orientasi perjuangannya untuk membangun umat. Organisasi masyarakat Islam terbesar itu bahkan terancam ditinggalkan warganya. Kalau tidak segera melakukan reorientasi, NU bisa ditinggalkan warganya dalam arti mereka tidak akan mengikatkan diri lagi secara organisatoris dan ideologis. Mereka hanya merasa ada hubungan historis saja," paparnya.

Dalam kondisi seperi itu, kata Laode, ikatan ke-NU-an akan semakin tidak berarti dan semakin tergusur dengan ikatan kepentingan yang lain yang lebih rasional, seperti ikatan ekonomi. Warga NU akan semakin sulit diarahkan oleh para elite NU, jika kepentingannya tak sesuai dengan kepentingan mereka.
Kegagalan sejumlah tokoh NU memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada) di wilayah yang sebenarnya basis NU, seperti di Bojonegoro, Jawa Timur, merupakan contoh kongkrit betapa ikatan emosional warga NU dengan organisasinya mulai melonggar.

Penyebab melonggarnya ikatan emosional warga NU dengan organisasinya, salah satunya adalah akibat perilaku elit NU sendiri yang lebih melibatkan diri atau terjebak dalam pragmatisme ketimbang memikirkan persoalan umatnya.

Terutama pragmatisme terkait kekuasaan dan materi. Perilaku semacam ini memudarkan derajat figur panutan dalam NU dan membuat warga merasa tidak ada manfaatnya mengikatkan diri secara organisatoris dengan NU.

Padahal, keberadaan figur merupakan salah satu pilar penyangga organisasi NU. Kondisi itu, katanya, berbeda dari organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dalan itu, dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kesadaran berorganisasi yang tinggi. Organisasi ini dijalankan oleh orang-orang terpelajar sehingga semangat berorganisasi terbangun baik, apalagi mereka merasa menjadi ada karena organisasi.

Sebenarnya sejak era 70-an, NU sudah mulai kehilangan kharakter sebagai organisasi berbasis umat. Hanya saja saat itu masih ada tokoh-tokoh yang konsisten dengan perjuangan keumatan NU. Pergeseran orientasi NU semakin nyata setelah reformasi.

Jika ingin tetap eksis di masa mendatang, NU harus kembali ke bidang garapannya semula, yakni membangun umat, serta mempersiapkan kader yang benar-benar mau dan bisa menjalankan organisasi.ful

Tidak ada komentar:

Posting Komentar