Minggu, 09 Agustus 2009

Tinggal sisa sejarah, terancam punah karena persaingan

BEMO, TRANSPORASI TUA YANG HIDUP SEGAN MATI TAK MAU




Peremajaan bemo menjadi bus kecil membuat nasib 'becak motor' ini kian tak jelas. Ironisnya, mereka bisa melenggang bebas di jalanan ibukota tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan bermotor.

MEMANG, angkutan umum yang pernah menjadi primadona di era 1980-an itu hingga kini masih dapat kita saksikan menyusuri sejumlah jalur tertentu seperti Pasar Tanah Abang, Bendungan Hilir, Karet, Petamburan, Manggarai Stasiun Jakarta kota, dan beberapa daerah lain di ibukota.

Tapi buah pahit dari Instruksi Gubernur Nomor 33/1996 tentang peremajaan bemo menjadi bus kecil, sejak 1996 hingga sekarang surat-surat kendaraan produksi 1962 ini -- seperti Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan surat uji kelayakan jalan -- tak lagi dikeluarkan.

"Meski tak dilengkapi surat-surat kendaraan bermotor semua bemo masih bisa beroperasi di Jakarta. Rata-rata sopir juga tidak memiliki SIM. Paling hanya membayar administrasi (pungutan, red) kepada polisi, beres,” kata Ujang G (52).
Tapi, lanjut Ujang, nasib bemo menjadi tidak jelas, bahkan banyak yang gulung tikar karena kalah bersaing dengan angkutan umum lainnya. Di daerah Benhil misalnya, dari 100-an bemo yang bisa beroperasi hanya 60 saja.

Ya, usia menjadi salah satu penyebab bemo sulit bersaing. Di Jakarta, keberadaan kendaraan buatan Jepang ini tidak lagi sedap dipandang, penyot di sana-sini dengan cat usang dan kotor.

Tapi, namanya juga kendaraan wong cilik. Bahkan Ujang mengaku bemonya masih kuat menampung tujuh orang penumpang. Satu duduk di samping pengemudi, enam orang lainnya di bangku belakang, masing-masing tiga berhadapan, harus rela bersinggungan lutut, laki atau perempuan.

"Memang harus penuh, baru kemudian bemonya jalan," ujar Fitri (24), salah satu penumpang dari Salemba ke arah Manggarai saat dijumpai Minggu (9/8) kemarin.

Tak jauh berbeda dengan nasib bemo yang terombang-ambing, sopir kendaraan ini juga mengalami ketidakpastian dan kekurangan dalam memenuhi kebutuhan operasional.
Surendi (32), penarik bemo yang mangkal di Manggarai mengatakan pendapatan dari menarik bemo tidak stabil dan terus mengalami penurunan. "Kita paling cuma dapat Rp 30 ribu per hari setelah dipotong uang bensin Rp 40 ribu dan setoran Rp 50 ribu. Jumlah itu terasa kurang, tapi mau bagaimana lagi," ujarnya.

Pria asal Kuningan ini mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mencari suku cadang bemonya, dan rata-rata sopir bisa memperbaiki bemonya sendiri kecuali kerusakan yang dianggap penting harus dibawa bengkel.

Surendi mengganti ban bemonya setahun sekali. Harga kedua ban Rp 175 ribu. Paling mahal jika as roda rusak, harganya bisa Rp 250 ribu. Jika ada suku cadang yang harus diganti, dia pergi ke Tanah Abang. Di sana ada bengkel reparasi suku cadang bemo. “Jadi, pengeluaran bisa ditekan,” katanya.

Meski demikian, para sopir ini tetap bangga terhadap keberadaan bemo. Tak sebatas sebagai sumber penghasilan, juga karena bemo mengandung nilai sejarah tinggi dan merupakan satu-satunya alat transportasi di jaman pemerintahan Presiden Soekarno.
"Wah dulu kita sering mengantarkan penumpang hingga Istana Merdeka. Bemo menjadi sangat penting saat itu," cerita Warno (60), bangga.

Tapi kebanggaan itu bakal tinggal sejarah karena bemo tak lagi memiliki kekuatan hukum. Kapan saja bisa lenyap dari kota Jakarta, baik secara alamiah maupun karena kebijakan pemerintah daerah.*[ASYHADI AHZA/MANGGARAI].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar