Kamis, 13 Agustus 2009

Karena SDM NU pas-pasan


Politik menjadi daya tarik yang begitu kuat bagi kader NU ketimbang profesi lain. Bisa Anda jelaskan?
Kader NU terseret pada kooptasi politik atau kapitalisasi, problemnya antara lain (tidak semua) adalah kesejahteraan. Banyak kader NU yang ingin cepat berubah nasib. Nah, cara paling mudah adalah melalu jalur politik.

Kenapa bisa demikian?
Karena rata-rata kualitas SDM kader NU pas-pasan. Dunia politik tidak banyak membutuhkan persyaratan yang rumit. Kadang, cukup bermodal mantan ketua cabang IPNU atau mantan pengurus PMII, dengan sedikit “tipu-tipu” karirnya dapat melejit melebihi profesi lain. Semisal, dokter, insiyur atau ilmuan yang butuh persyaratan intelektual yang ketat. SDM yang pas-pasan itu, membuat alternatif untuk masuk profesi lain tidak dapat dilakukan. Ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, betapa banyak jabatan komisaris, direksi, direjen, tapi kita ternyata kader NU tidak memiliki kulaifikasi SDM yang memenuhi kualifikasi pada pos-pos tersebut.

Jadi kader NU tidak siap berkompetisi?
Ya. Kalau orang NU disuruh kompetisi secara kualitatif, benar-benar tidak kompatibel lho. Kenapa? Karena perguruan tinggi NU tidak terurus. Ceritanya lain bila perguruan tinggi NU terurus dengan baik. Pastilah akan sangat banyak melahirkan doktor dari perguruan-perguruan tinggi NU. Itu sekaligus menjadi kebanggaan NU. Seberapapun kualitasnya kalau doktor pasti banyak tempat. Bisa mengajar dibanyak tempat, menjadi konsultan atau menulis.

Apa yang membuat SDM NU lemah?
Ternyata khittah NU 1926 tidak diikuti sistem dan penguatan struktur. Ketika khittah diputuskan, NU tidak segera membenahi sistem penguatan organisasi di luar politik. NU tidak segera melangkah bagaimana membangun sistem pendidikan, metode dakwah dan sebagainya. Sehingga khittah sebagai nilai juga menjadi rapuh. Kalau teori Samuel Huntington mengatakan pendekatan struktur fungsional, maka struktur harus berjalan seiring dengan fungsi yang dimaksimalkan. Sekarang, apa yang dilakukan Ma’arif ketika kondisi madrasah NU “menangis”, banyak SMP NU “meradang” diambang bangkrut. Kecuali pondok besar yang masih bisa bertahan. Pada tataran seperti ini roh Nahdlatut Tujjar harus bangkit kembali dengan pendekatan profesional.

Bukankah kekuasaan juga penting?
Tentu. Karena kekuasaan memiliki peran dalam menentukan kebijakan yang berpihak pada jam’iyah. Hal ini sangat penting ketika kita berhadapan dengan kondisi eksternal yang cukup massif mempengaruhi internal NU. Maka posisi strategis menjadi penting untuk meng-endors soliditas NU. Karena tidak orang lain yang akan intervensi ke dalam.

*Wawancara wartawan DUTA MASYARAKAT, Saefullah, dengan Khofifah Indar Parawansa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar