Kamis, 13 Agustus 2009

NU diserang liberalisme dan radikalisme


KETIKA Nahdlatul Ulama (NU) kembali ke khittah 1926, ada tiga hal penting yang harus dikembangkan. Yaitu bidang sosial (mabarrat), pendidikan yang ditangani Lembaga Pendidikan Maarif NU dan dakwah yang ditangani LDNU. Sebab, tiga hal itulah ruh perjuangan NU yang sebenarnya.

Terkait dengan pengembangan dakwah NU, saya atas nama LDNU baru saja datang dari Lebanon. LDNU berkerjasama dengan Global University, Lebanon. Global University mayoritas diisi orang ahlussunnah wal jamaah. Rektor universitas ini adalah Doktor Adnan. LDNU diundang oleh organisasi namanya Masyariqil Khoiriyah. Kalau di Indonesia, mereka itu NU-nya.

Setelah pertemuan itu, mereka ingin diundang ke Indonesia. Tapi saya berfikir, orang bisa protes karena watak orang Lebanon sangat keras. Idealisme kita dan mereka sama, tapi penerapannya yang beda. Sebab, di Lebanon, orang Sunni dan Syi’ah hidup berdekatan, tapi setiap hari saling serang. Jadi kalau saya mengundang mereka ke Indonesia, bisa protes semua.

Organisasi terhebat di Indonesia sebenarnya NU. Sebab, NU bisa diterima oleh masyarakat internasional. LDNU pernah menghadiri Muktamar Umat Islam di Libya yang dihadiri perwakilan 120 negara. Mereka menganut faham ahlussunnah waljamah, sama seperti NU. Pada pertemuan itu, semua peserta bilang, sampaikan Islam di dunia dengan sejuk.

Menurut saya, orang yang mengerti bahwa menyampaikan Islam yang sejuk itu adalah orang yang mengerti sufi dan thariqah. Tapi meskipun sama-sama ahlussunah wal jamaah, masing-masing negara penerapannya beda, karena kondisi negara yang beda pula.

Di tengah tantangan yang luar biasa, LDNU terus bergerak tiada henti. Seperti biasa, NU selalu menghadapi masalah dana dalam menjalankan kegiatan. Tapi itu bukan hambatan bagi LDNU. Kami telah bekerjasama dengan banyak pihak, termasuk dengan Departeman Agama, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Departemen Koperasi.

Salah satu wujud dari kerjasama itu adalah pelatihan kader dakwah untuk daerah transmigrasi, kawasan terpencil dan minoritas. Tahun 2009 ini, LDNU melatih 700 kader dakwah. Mereka akan memberikan bimbingan agama di daerah transmigrasi di berbagai daerah. Dengan adanya pelatihan ini, LDNU ini tidak hanya melatih keilmuan, tetapi juga tata cara berdakwah.

Dalam rangka memenuhi target 700 da’i dan da’iyah itu, LDNU menggumpulkan 50 anak muda dari daerah di Indonesia timur atau daerah-daerah transmigrasi di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Kita berikan kepada mereka kitab-kitab ahlussunah wal jamaah, dan banyak tokoh juga didatangkan untuk memberi materi latihan kepada mereka.

Dalam pelatihan itu, setiap malam mereka dibangunkan untuk diajak shalat malam. Jadi, LDNU menunjukkan praktik ahlussunah wal jamaah orang NU. Tidak hanya ngomong, tapi juga praktik langsung. Diajarkan kepada mereka tata cara adzan, ziarah kubur, shalat dan puasa pada hari Senin dan Kamis. Mereka juga diwajibkan qiyamul lail, tahlil dan amalan lainnya. Memang mendidik kepada anak muda itu tidak hanya teori, karena buku sudah banyak. Ini yang sekarang hilang, PMII saja sekarang ini dzikir saja tidak, apalagi shalat.

Pada pelatihan itu, LDNU mengajarkan dua hal prinsip, tentang kebenaran ahlusunnah wal jamaah dan ilmu menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Pelatihan dibagi per angkatan masing-masing terdiri dari rata-rata 50-100 orang.

Aspek praktek peribadatan sangat ditekankan mengingat belakangan ini semakin jarang umat Islam yang melaksanakan amalan-amalan sunnah. Padahal Rasulullah mengamalkannya setiap hari. Sekarang semakin jarang orang yang puasa Senin-Kamis dan sholat malam. Padahal selama sebelas tahun, Rasulullah hanya dua hari meninggalkannya karena sakit.

Mengapa pelatihan sengaja ditempatkan di pesantren? Tujuannya adalah untuk mendekatkan para da’i dan da’iyah dengan para kiai. Pesantren juga telah terbukti sebagai tempat yang unggul dalam menghasilkan kader-kader dakwah.

Pada 13-17 April lalu, LDNU juga mengadakan pelatihan serupa di Jambi yang melibatkan 30 peserta. Selama lima hari mereka mendapatkan pelatihan bagaimana memahami sosiologi masyarakat, retorika berpidato dan penguatan ajaran aswaja.

Kini, NU sedang menghadapi tekanan berat. Yaitu tekanan dari liberalisme dan radikalisme. Selain dakwah, bidang sosial dan pendidikan juga perlu dikembangkan lagi. Masjid-masjid NU juga banyak dikuasi oleh pihak lain. Masalahnya, yang punya idealisme dan perjuangan sangat sedikit.

Banyak yang bilang, NU punya banyak pesantren. Memang pesantren-pesantren itu NU. Tapi kalau dipikir-pikir kapan NU ngopeni (merawat) NU secara serius. Pondok Pesantren Langitan, Tuban, itu besar karena memang sejak dulu Langitan itu besar. Beda dengan Muhammadiyah, sejak masih SD sudah dirawat sehingga bisa besar. Jadi di NU itu, yang sering itu ngaku-ngaku (mengakui) saja.

Pesantren di Indonesia itu ada 16 ribu. Apa semua masuk RMI (Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama) atau asosiasi pondok pesantren NU? Tidak semuanya dan belum tentu. Mungkin takut didikte. Kalau di Muhamadiyah tidak seperti itu. Ini membutuhkan pemikiran dan gerakan yang luar biasa. Kata Kiai Faqih (Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, KH Abdullah Faqih), NU itu rumah abadi. Tapi kalau tidak dirawat, apa bisa abadi. Jadi, NU ini memang harus dirawat. Kalau tidak, akan terus digempur kelompok lain.

Ketika ada pertemuan di PBNU, 32 Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) datang. Dalam pertemuan itu, semua yang pidato isinya marah karena masjid NU dikuasai orang lain. Saya katakan, mari bersyukur kepada Allah banyak ideologi dari luar datang ke Indonesia. Banyak juga yang protes, kok malah bilang alhamdulillah. Saya katakan, kalau PKS dan aliran lain tidak datang, bapak-bapak tidak akan bergerak di wilayah. Masjid NU dikuasi mereka, karena bapak-bapak tidak bisa jadi pemimpin. Kalau bapak bergerak, masjid NU pasti tidak dikuasai orang.(TIM DUTA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar