Kamis, 13 Agustus 2009

Hj. Khofifah Indarparawansa: Khittah tak diikuti penguatan sistem*


Sebagai pimpinan badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) yang beranggotakan jutaan ibu-ibu ini, Khofifah sangat dikenal. Sosoknya cerdas dan lincah. Ini membuatnya berhasil mengembangkan Muslimat NU menjadi organisasi yang lebih maju. Sudah dua periode ini dia memimpin Muslimat NU. Berikut ini rangkuman pandangan Khofifah yang disajikan dengan gaya bertutur.

======================

Saya ingin berangkat dari dinamika eksternal dan internal NU. Kedua kondisi itu harus kita telaah bersama-sama dan komprehensif. Sejak NU dibangun tahun 1926, 1947, dan 1952, variabel internal atau eksternal tidak bisa dibiarkan begitu saja sebagai variabel yang sangat berpengaruh bagi NU maupun badan otonomnya.

Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman Muslimat NU. Di Jawa Timur, Muslimat memiliki lebih 600 RA (Raudhotul Afal), namun terpaksa harus ganti kelamin menjadi TK (taman kanak-kanak). Perubahan itu jelas atas pengaruh variabel eksternal. Sebab, Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) hanya memberikan bantuan baik ketenagaan, operasional dan fungsional hanya kepada guru-guru TK. Maka kalau RA ingin eksis dan gurunya memperoleh tunjangan yang setara dengan guru TK, RA-RA harus ganti kelamin menjadi TK.

Contoh lain, Majelis Taklim harus menjadi bagian dari BKMT (Badan koordinasi Majelis Taklim). Kenapa? Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag) hanya memberi bantuan tahunan kepada majelis taklim yang bergabung dalam BKMT. Artinya, bantuan itu datang dari pemerintah atau eksternal.

Yang juga sangat serius untuk mendapat perhatian adalah madrasyah-madrasah NU yang nasibnya sudah di ujung titik kritis akibat dari SD dan SMP digratiskan. Pemerintah kembali menjadi faktor eksternal yang membuat kita tidak dapat berbuat apa-apa. Inilah perbedaan kondisi NU di tahun 1926, 1947, 1952 dengan sekarang.

Oleh karena itu, tidak boleh tidak, NU harus merespon serius. Misalnya membagi diri antara fungsi jam'iyah dan fungsi harakiyah (fungsi gerakan di luar diniyah dan istima’iyah). Persoalan eksternal sering mengintervensi secara langsung proses kapitalisasi di tubuh NU. Kita jelas harus bertindak. Kalau mau lurus-lurus, pihak lain yang ngaduk-ngaduk kita.

Hal itu sudah terjadi pada Kongres Muslimat di Batam. Tidak ada satu pun peserta, utusan, cabang ataupun wilayah yang saya bayar. Lalu datanglah Mbak Yenny (Wahid), Mas Imin (Muhaimin Iskandar), DPR, DPRD PKB se-Indonesia didatangkan untuk mbayari. Lalu muncullah Bu Lily (Wahid) sebagai calon. Tapi lantaran tidak memenuhi syarat diganti Mbak Musda (Mulia). Jadi ada faktor eksternal, baik orang dalam maupun luar NU, yang ikut merusak tatanan NU.

Ada pendekatan yang harus dikaji secara serius dan mendalam. Pertama, melalui pendekatan sistem. NU sebagai suprasistem, punya sistem-sistem seperti banom, lajnah dan lembaga. Banom sebagai subsistem punya subsistem lagi. Misalnya, Muslimat ada yayasan pendidikan, punya panti asuhan, rumah sakit dan lain sebagainya. Jadi, melihat NU tidak cukup melihat PBNU tapi harus melihat NU sebagai the hole system.

Kedua, pendekatan struktural fungsional. Apakah struktur yang ada di NU dan lembaga sudah fungsional secara maksimal? Contoh, pendidikan NU yang belum maksimal. Mestinya harus memaksimalisasi fungsi dan peran Lembaga Ma’arif. Juga bagaimana maksimalisasi dan struktur lembaga dakwah. Dulu, Kiai Said Aqil Siradj sering cerita, gimana kok yang jadi ahli dzikir, Arifin Ilham, pendakwah Aa Gym. Padahal kiai-kiai NU, sesungguhnya ahli dzikir dan pendakwah, tapi tidak mampu memaksimalkan fungsinya. Artinya, NU lebih kuat kultur daripada struktur. Kepemilikan lebih banyak ke pribadi daripada organisasi. Ini tidak ringan untuk transformasi dari kepemilikan pribadi ke organisasi.

Selama ini juga tidak pernah ada job description antara PBNU dan banom maupun lembaga. Selama memimpin Muslimat hingga masuk periode kedua, PBNU tidak pernah memberikan guidance. “Hai Muslimat tugasmu begini, nanti Fatayat begini, IPNU itu, Ansor begitu.” Kalau PBNU tidak melakukan hal itu, masa depan NU tidak pernah berjalan secara sistemik.

Coba renungkan fungsi IPNU. Memangnya IPNU disiapkan untuk apa dan untuk siapa? Sudah saya desak PBNU harus membuat juklak kaderasi IPNU dan IPPNU. Tujuannya agar para kader IPNU dan IPPNU dapat mengerti dirinya disiapkan untuk kader NU sesuai dengan tantangan jamannya. Kalau NU tidak menyiapkan kader, berapa puluh tahun lagi kita tidak bisa mengharapkan NU akan eksis seperti yang kita idealisasikan.

NU harus punya master plan dengan guidance yang dibuat oleh orang yang profesional. Dalam muktamar mendatang rasanya belum mungkin membuat master plan. Tapi masih memungkinkan direncanakan. Sebuah guidance untuk banom dan lembaga agar memiliki pegangan dalam menjalankan organisasi. Sekarang ini justru pengurus PBNU tidak mengerti kalau NU adalah payung. “Masa PBNU ngerjain kegiatan narkoba?” Mestinya kegiatan itu cukup distribusikan ke banom seperti IPNU biar ada kegiatan.

Mekanisme antara PBNU dan banom tidak dibangun secara programatik. Sehingga progam dijalankan oleh siapa yang bisa mengakses ke sumber-sumber tertentu. Saya berharap akan ada mekanisme komunikasi secara programik dan sistematik. Sehingga betul-betul ada maksimalisasi fungsi-fungsu dari struktur yang begitu banyak dimiliki NU.

Pendekatan kultural (yang lebih kuat), pendekatan struktural fungsional dan pendekatan sistem. Ini harus ada penggabungan sebagai satu kesatuan untuk berbenah NU ke depan. Kalau tidak, akan sulit berkembang. [saefullah & mufied]

*Tulisan ini adalah resume Diskusi Reboan yang diselenggarakan oleh Harian Umum DUTA MASYARAKAT. DIsampaikan pada 22 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar