Kamis, 13 Agustus 2009

Slamet Effendy Yusuf: Ulama harus pegang kendali


------------------
Edisi ketiga Diskusi Reboan, Rabu (29/8), menghadirkan Slamet Effendy Yusuf. Mantan ketua umum PP GP Ansor selama dua periode (1985-1995) ini menyoroti pendirian NU hingga mengembalikan peran ulama pada maqomnya. Berikut resume diskusi yang ditulis dengan gaya bertutur.
-------------------
KETIKA Nahdlatul Ulama (NU) melahirkan khittah tahun 1984, secara kebetulan atau memang momentumnya yang tepat, saya menjadi bagian dari sejarah fenomenal itu.
Waktu itu, pada akhir 1970-an di Kantor PBNU, Jl Kramat Raya 164, tidak ada sama sekali kegiatan, baik oleh PBNU mamupun badan otonom (banom). Kecuali Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), mungkin karena dinamika kampus yang dinamis. Sehingga NU dalam krisis kepemimpinan. Tidak ada arahan dari ulama NU kepada umat.
Ketika itu dimana keberadaan pemimpin NU? Ulama waktu itu ada di dua posisi. Sebagai pemimpin NU sekaligus pemimpin partai. Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid dan Sekjen PBNU KH Yahya Ubaid menjadi fungsionaris Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Terjadi politik dua kaki. Satu kaki di NU, sebelah kaki di PPP. Ini tentu tidak dapat dijalankan sekaligus secara bersamaan. Pimpinan NU waktu itu lebih banyak aktif di Jl Diponegoro, markas PPP sementara kantor NU di Kramat Raya seperti gudang, tak terurus.
Kondisi ini mengusik anak-anak muda NU. Dari diskusi panjang di antara anak-anak muda NU maka ditemukan sebuah jawaban, yakni NU harus kembali ke khittah. Anak muda NU menemukan momentum dengan memanfaatkan pengaruh KH Achmad Shiddiq (Jember). Saat yang bersamaan pula terjadi peristiwa politik tokoh-tokoh NU tersingkir dari PPP.
Terjadi sebuah koinsidensi antara ketidakpuasan para kiai dengan tindakan Pak Idham yang melindungi para politisi PPP dengan teman-teman yang punya gagasan strategis menyelamatkan NU. Seperti kapal, kepemimpinan Pak Idham kena angin burita. Maka jalan kembali ke khittah menjadi arus besar dalam gerakan NU.
Ketika khittah NU ditetapkan, NU tidak berada di ruang kosong. NU berada dalam gelombang perjalanan bangsa dengan segala lika-likunya. Dalam khittah NU yang diambil dari pidato iftitah KH Hasyim Asy’ari, tidak ada di situ kegiatan yang bersifat politik. Hanya dinyatakan bahwa NU sebagai organisasi tidak berhubungan dengan organisasi manapun.
Kepada anggotanya diberi kebebasan untuk melakukan tindakan politik. Sebagai organisasi, NU dilarang untuk berpolitik praktis. Tetapi sebagai perorangan tidak.
Dalam Muktamar NU di Situbondo, ada dua hal yang sangat penting diputuskan. Pertama, yaitu meneguhkan berdirinya kembali NU sebagai jam’iyah diniyah ijtimaiyah. Kedua, bagi NU, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila sudah final.

Kelokan sejarah NU
Khittah merupakan kelokan paling penting dalam perjalanan sejarah NU. Organisasi ini didirikan sebagai jam’iyah, lalu tahun 1945 terlibat pembentukan Masyumi, dimana KH Hasyim Asyar’i sebagai Majelis Syuro. Itulah kelokan pertama NU terlibat politik praktis. Tapi NU masih tetap sebagai organisasi jam’iyah. Tahun 1955, NU benar-benar menjadi partai politik.
Muncul pertanyaan, ketika kemudian dalam perjalanannya NU kembali ke khittah apa yang harus dilakukan? Ulama harus kembali memegang kendali organisasi. Tanfidziyah ditempatkan sebagai supporting elemen kepemimpinan ulama. Supporting dalam organisasi sangat penting. Kepemimpinan NU bagaimanapun juga tetap harus di tangan ulama.
Ada dua kamar dalam kepemimpinan NU, yakni kamar tanfidziyah dan syuriyah. Yang memegang direction kepemipinan adalah ulama kamar syuriah. Kamar Tanfidziyah, kualifikasinya bisa ulama bisa bukan. Tapi Tanfidziyah harus orang yang memiliki kemampuan pengelolaan organisasi. Harus punya kemampuan manajerial menggerakan organisasi. Kepemimpinan NU harus dapat memanfaatkan keseluruhan organisasi. Ada pembagian tugas yang jelas di antara badan otonom dan lembaga.

Pesantren sebagai kekuatan
Langkah selanjutnya pengembangan sumberdaya manusia harus menjadi perhatian NU. Membangun kembali kepercayaan pesantren sebagai kekuatan NU. Kita juga harus mengembalikan peran ulama ke maqom yang seharusnya diemban, yakni pesantren.
Secara organisatoris NU tidak boleh bergeser dari jam'iyah diniyah. Tetap pada semangat khittah awal tidak berada dalam dataran politik pratis. Tapi di dalam jam'iyah diniyah.
Perlu diketahui, NU lahir tahun 1926 di Surabaya. Ini sebuah kota di luar Jakarta, yang paling punya minat kepada pendirian organisasi pergerakan politik. Tapi kenapa ulama mendirikan NU sebagai jam'iyah, bukan organisasi politik?
Jadi, NU sebagai organisasi jam'iyah adalah takdir yang harus diterima dan dijaga. Dan perjalanan ke depan sesulit apapun masa yang akan dilalui NU harus tetap menjadi organisasi jam'iyah diniyah.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar