Kamis, 13 Agustus 2009

Perlu fatwa haram money politics


Nahdlatul Ulama (NU) akan muktamar ke-32 di Makassar. Apa harapan Anda?

Kita harus memulai dan tradisikan kepemimpinan NU mendatang berasal dari hasil output kaderisasi organisasi. Jangan sampai kepemimpinan NU lahir dari sebuah kepentingan jangka pendek.

Maksudnya?

Para pemimpin NU haruslah yang pernah mengikuti proses kaderisasi dari bawah. Misalnya, dia harus pernah melewati proses kaderisasi di IPNU, Ansor, Fatayat dan organisasi NU lain. Jangan sampai, karena kepentingan pramatis, lalu tiba-tiba ada orang yang muncul menjadi pemimpin NU. Ini tidak baik bagi pengembangan organisasi. Karena pasti, dia tidak mengerti secara mendalam persoalan ke-NU-an.

Memimpin NU itu ibarat seorang dirigent yang memimpin musik orkestra. Jadi diperlukan pemahaman yang mendalam. Ini penting untuk melakukan refungsionarisasi badan-badan otonom dan lembaga.

Persoalannya saat ini banyak pengurus NU yang bersikap pragmatis. Kapitalisme sangat berpengaruh. Sehingga kemungkinan money politics terjadi pada muktamar mendatang. Pandangan Anda?

Memang. Kapital dalam arti kongkrit terlalu menonjol. Kalau muktamar NU mendatang, siapapun yang jadi kandidat harus betul-betul menghindari money politics. Tidak boleh ada. Muktamirin harus ikut memperbaiki NU yang kini sedang terpuruk. Harus dipahami kalau ada orang membayar pemilih untuk menjadi ketua umum PBNU, saat itu pula dia sedang menghancurkan NU. NU harus menjadi organisasi patron moral. Ketika di partai politik atau organisasi lain menggunakan cara-cara seperti itu (money politics), maka NU sebagai organisasi keagamaan harus berbeda. Kalau cara yang sama digunakan, lalu apa gunanya. Kalau sudah tak ada bedanya, kebangkrutan ulama sedang dimulai.

Perlukah langkah yang efektif untuk mencegah cara seperti itu?

Yang paling memiliki otoritas dalam hal ini adalah para ulama. Sebelum muktamar perlu diadakan Munas Alim Ulama. Lalu dalam munas itu para ulama mengeluarkan fatwa untuk mengharamkan memilih seorang pemimpin dengan cara membayar. Kalau ini bisa dilalukan sangat dahsyat. Ulama harus berfikir dengan huruf, jangan terlalu banyak dengan angka. Kalau ulama sudah bertanya berapa? Maka kita sudah kehilangan segala-segalanya.

Gagasan yang bagus. Ngomong-ngomong apa Anda siap memimpin NU?

Saya ini orang NU. Hampir sebagian hidup dicurahkan untuk NU. Di rumah saya, tidak ada gambar selain gambar NU. Hari-hari komunikasi yang menonjol selalu tentang NU. Di birokrasi sering mengkomunikasikan agar orang-orang NU yang ada di birokrasi memperoleh peningkatan karir. Saya maido (jengkel) kalau ada orang NU di birokrasi yang tidak diperhatikan oleh atasannya.

Anda siap meninggalkan politik praktis?

Saya siap meninggalkan kegiatan politik praktis. Tapi saya akan menggunakan seluruh pengalaman dan kemampuan politik untuk membangun NU. Politik dalam pengertian politik moral. Politik etika dan politik kenegaraan. Bukan politik keberpihakan pada kelompok tertentu. Sekarang bisa anak-anak sudah besar. Sudah tidak lagi menjadi tanggungan. Apalagi yang mau dicari? Sebentar lagi Munas Golkar. Sebetulnya banyak DPD Golkar yang minta saya tetap terlibat. Tapi, saya katakan tidak. Mereka tanya, “Mas Slamet mau kemana?” saya jawab gampang, ke masjid juga bisa ibadah.

*Wawancara wartawan DUTA, Saefullah, dengan Slamet Effendy Yusuf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar