Minggu, 06 September 2009

Said BUdairy: NU perlu perbaikan yang mendasar


Porak-porandanya Nahdlatul Ulama (NU) harus ditelusuri sejak kapan mulai dan kenapa sampai terjadi? NU mulai porak-poranda sejah tahun 1973 ketika berfusi kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketika itu, seluruh pengurus PBNU, merangkap anggota DPR, seolah memindahkan kantor ke gedung parlemen. Sementara kantor PBNU di Kramat Raya 164 sepi seperti kuburan. Gedungnya berantakan seperti gudang tak bertuan.

Kondisi seperti itu membuat anak muda NU, seperti Sahal Mafudz, Mustofa Bisri, Tohlah Hassan, dan yang lebih muda lagi, Abdullah Sarwani, Fahmi D Saifuddin, gelisah dan prihatin. Mereka lalu mengisi kegiatan kantor PBNU. kemudian bergerak melakukan pendekatan ke cabang-cabang seluruh Indonesia. Surat-surat cabang yang dialamatkan ke PBNU tidak ada yang ngurus karena PBNU tidak berfungsi.

Wal hasil, anak-anak muda membentuk majelis beranggota 24 orang. Dari diskusi panjang akhirnya berkesimpulan NU harus kembali ke khittah 1926. Lebih teknis membentuk tim 7 yang bertugas menyediakan bahan-bahan dasar dan pokok pikiran tentang kembali ke khittah 1926.

NU sudah kehilangan identitas. Selama 25 tahun NU kepemimpinan NU hanya satu orang, yakni KH Idham Cholid. Tidak ada satu orang pun yang berani mengantikan posisi Idham Cholid. Berbeda sekarang, semua orang berebut ingin jadi ketua umum PBNU. Kepemimpinan Idham Cholid terlalu ngurus politik sementara umat terabaikan. Karena itu, kepemimpinan NU harus diganti.

Ternyata keinginan sejumlah anak-anak muda itu sejalan dengan keinginan para kiai sepuh. Gagasan-gagasan tentang kembali khittah disampaikan pada Munas alim ulama tahun 1983 di Situbondo. Munas merekomendasikan Muktamar untuk memutuskan kembali ke Khittah 1926.

Satu hal paling lain yang disepakati pada munas adalah pergantian kepemimnan NU. Para kiai harus perlu mendatangi Idham Cholid untuk mendesak agar tidak mencalonkan kembali. Namun Idham Cholid tampaknya tetap ingin mempertahankan posisinya. Akhirnya munculah kelompok yang disebut kubu Cipete dan kubu Situbondo.

Untuk mengalahkan kubu Cipete yang didukung kekuasaan, kubu Situbondo, yang terdiri dari anak-anak muda, menggunakan strategi ahlul halli wal ’aqdi untuk mengantarkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi ketua umum PBNU. kalau tidak, Idham Cholid bisa terpilih kembali.

Perjalanan khittah

Lantas bagaimana realisais awal kepemiminan Gus Dur? Karena niatnya sungguh-sungguh membangun NU menjadi organisais keagamaan Gus Dur mampu menjalankan amanah dengan baik. Pertama yang dilakukan adalah mendirikan Lakpesdam (Lembaga pengembangan sumberdaya manusia).

Pendirian Lakpesdam sebagai respon terhadap kesepakatan khittah bahwa NU paling lemah adalah sumberdaya manusia (SDM). Oleh karena itu, harus dibangun sumberdaya manusa yang tangguh. Abdullah Sarwani (mantan dubes Lebanon) memimpin Lakpesdam pertama kali. Lalu saya melanjutkan memimpin Lakpesdam NU tahun 1987.

Yang terpikir ketika itu adalah memindahkan kantor Lakpesdam dari gedung PBNU. Pasalnya, selama budaya kantoran PBNU yang buruk tidak akan mampu meningkatkan kerja Lakpesdam. Melalui berbagai cara, saya mencari sponsor NU agar Lakpesdam dapat ngontrak untuk kantor.

Suasana, ritme dan kultur kerja di kantor Lakpesdam NU dirubah total. Sampai-sampai KH Ali Yafie ketika menyampangi kantor Lakpesdam kaget. Dia berkata, “Nah ini baru kantor tidak seperti di PBNU yang semrawut.” Maklum saja suasana dan ritme kerja sangat berbeda dengan di gedung PBNU.

Hingga kini manajemen organisasi yang dibangun Lakpesdam menjadi contoh lembaga lain. kini perpustakaan Lakpesdam menjadi perpusatakaan PBNU. sayangnya budaya di Lakpesdam belum menular ke lembaga lain. ketika Untuk pertama kali menyerahkan kepemimpinan Lakpsedam menyisakan saldo Rp 100 juta.

Bukan tempat berpolitik

Menyikapi perkembangan NU dan politik dewasa ini sesungguhnya sangat jelas karena nilai-nilai khittah tidak dijalankan secara baik dan benar. Khittah sangat arti dan maknanya. Khittah menjelaskan NU bukan tempat untuk bermain politik praktis. Sebagai warga negara NU memberikan hak menggunakan politik sesuai akhlakulkarimah. Itulah rumusan Khittah. NU sudah menyediakan lahan lain, yakni partai politik.

NU masih mampu menjaga khittah secara konsiten hingga muktamar di Yogyakarta 1989. Namun pertengahan hasil Muktamar Gus Dur mulai bermanuver politik. Manuver Gus Dur terus menerus sampai akhirnya menjadi presiden. Herannya pengganti Gus Dur, KH Hasyim Muzadi ikut tersert bermanuver politik.

Disinilah kegagalan demi kegagalan mulai terjadi. Berdirinya PKB tidak lantas membawa perubahan. Justru konflik berkepanjangan terus mendera politik NU. PKB juga tidak mendapat dukungan dari warga NU secara signifikan. Ditambah kekacauan menimpa internal PKB yang berawla dari pecat memecat.

Akhirnya lahirlah partai-partai baru yang mengatasnamakan NU. Partai yang merasa didukung warga NU saling membesarkan diri sendiri. Terjadilah tarik-menarik kiai yang dibawa ke ranah politik.

Sebetulnya sudah EGP (emang gwa pikiran ) melihat kesemrawutan yang melanda NU. Intrik dan uang sudah mewarani kepengurusan NU. Jadi memang harus ada perbaikan yang mendasar di tubuh NU. Kiai-kiai harus kembali ke maqom-nya. saefullah

KH NOER MOHAMMAD ISKANDAR SQ: Pesantren bakal jaga teritorial NKRI



Apa latar belakang anda membuat konsep Pesantren Bela Negara ini?

Pertama, terhadap dunia terorisme, yang kemudian stigma terorisme itu diarahkan kepada pondok pesantren. Padahal, pondok pesantren sudah merasa terteror dengan keadaan itu, dan juga tertertor dengan bermacam berita yang menyudutkan pesantren. Seperti flu babi, yang diarahkan ke pondok-pondok. Namun setelah saya telepon beberapa pesantren, tidak ada berita semacam itu.

Anda melihat ada upaya mendiskreditkan pesantren?

Ya, ini ada upaya-upaya strategis untuk menyudutkan pondok pesantren. Saya merasakan ada gejala dan upaya depesantrenisasi dan dekiaisasi.

Mengapa stigma itu bisa melekat di pesantren?

Kita sadari masih banyak pondok-pondok yang tidak mampu karena keterbatasannya atau karena pemahaman yang begitu sempit. Itu yang harus kita jelaskan. Bukan karena nasionalismenya tidak ada tapi karena pemahaman agama yang sempit.
Ini relitas, kenyataan yang ada, kemarin itu ada anak-anak yang melakukan teror itu bagian yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Ini yang kemudian digeneralisir.

Secara konkret, apa yang akan dilakukan Pesantren Bela Negara?

Hari ini kita sudah mulai melangkah dan melakukan kerjasama dengan Gubernur Bengkulu (Agusrin M Najamuddin, red) untuk menyebarkan 1.300 santri di 1.300 desa dalam upaya untuk menangkal terorisme, paham-paham yang salah dan paham yang menyesatkan.
Saya melihat, stigma terorisme itu sedemikian rupa diarahkan ke pesantren. Nah, kita berupaya untuk menyelamatkan stigma itu dan caranya pesantren membela negara.

Lantas, bagaimana menjawab semua itu?

Kita bikin aktifitas, bikin kegiatan bahwa nasionalisme masyarakat kita tinggi, bahwa pondok itu merupakan founding father dari republik yang ada. Lebih jauh, melalui MSKPI mengingatkan kepada elit politik agar tidak menjualbelikan keamanan kepada negara asing dalam kondisi situasi politik kita seperti ini.
Karena, bermacam-macam bentuk orang yang mengail di air keruh, ada yang karena tidak suka dengan pesantren, ada yang hendak mengadu domba umat Islam dan sebagainya.

Selain masalah terorisme, permasalahan apa yang menjadi perhatian Pesantren Bela Negara ini?

Masalah kedua, adalah ulah negeri jiran (Malaysia, red). Saya melihat Malaysia ini selalu memanfaatkan krisis yang ada di republik ini untuk kemudian bermain-main dengan teritorial.
Ada upaya penyerobotan-penyerobotan terhadap bagian dari NKRI. Padahal NKRI itu final. Sebagai anak-anak bangsa yang merasa bahwa founding father republik ini adalah para ulama, maka kita merasa perlu untuk membentengi republik ini dengan pondok pesantren.

Apa yang akan dilakukan pesantren untuk menjaga teritorial?

Kita akan membekali para santri, para alumni dan para kiai tentang perlunya kesadaran bersama untuk mempertahankan Indonesia, jangan sampai ada sejengkal pun bagian republik ini diambil orang lain. Karena itu akan menjadi preseden yang tidak baik.
Saya juga ingin agar pondok pesantren itu membekali dirinya dengan pengetahuan ekonomi rakyat sehingga benteng yang ada di republik ini bukan hanya benteng kekuatan fisik tapi juga ekonomi dan kesejahteraan. Dan ini jauh lebih menarik.

Apa yang menjadi kekhawatiran kiai sehingga pesantren perlu membentengi teritorial?

Kalau anda melihat di berbagai belahan republik yang berbatasan dengan Malaysia, itu ada masyarakat yang lebih senang menggunakan mata uang ringgit. Mereka lebih senang menjadi bangsa Malaysia, sehingga nasionalisme itu tipis.
Nah, keinginan kami bagaimana pondok-pondok itu mengisi ribuan perbatasan dengan Malaysia yang kosong. Sudah sekian tahun kita merdeka namun masih belum bisa membentengi Indonesia dengan benteng-benteng dengan mengisi masyarakat di perbatasan yang kosong. Dan kita ingin santri dan pesantren bisa tampil ke depan untuk bersama-sama membela perbatasan Indonesia.[kml]

Pesantren Ramadhan “Bela Negara” Asshidiqiyah

Tumbuhkan kesadaran potriotisme santri

ASHADI AHZA
KEBON JERUK

-----------------
Santri tak melulu berkutat dengan ilmu agama. Juga harus paham prinsip-prinsip dasar membela negara, untuk menghapus stigma bahwa pesantren tempat kaderisasi teroris.
-----------------

PONDOK Pesantren (Ponpes) Asshidiqiyah Jakarta adalah salah satu pesantren yang punya komitmen terhadap pentingnya kesadaran mebela negara. Di bulan suci Ramadhan ini, pesantren asuhan KH Noer Mohammad Iskandar SQ tersebut mengadakan kegiatan yang dibingkai lewat Pesantren Ramadhan “Bela Negara”.

Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari, Jumat (4/9) dan Sabtu (5/9) di Kompleks Ponpes Asshidiqiyah Kebun Jeruk, Jakarta Barat yang dikuti 150 peserta terdiri dari perwakilan pesantren se-DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Nara sumber yang dihadirkan dari berbagai disiplin keahlian, di antaranya Drs Muhtar Hadiyu MSi (pakar pengembangan patriotisme), Drs Khoirul Fuad Yusuf (Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI) dan Joko Pramono Shidiq (Departemen Pertahanan). Hadir pula pada anggota komisi I DPR, Drs Slamet Effendi Yusuf.

Ketua panitia, Mahrus Iskandar menuturkan, pesantren sebagai basis pendidikan dan kaderisasi Islam, terbukti memiliki peranan penting dalam perjuangan dan upaya mempertahankan kemerdekaan RI.

“Dengan pesantren yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, menyimpan potensi besar untuk menjaga negara dari berbagai ancaman,” katanya pada Duta, Sabtu (5/9) kemarin.

Akhir-akhir ini, lanjut Mahrus, pesantren wajah sedikit 'tercoreng' karena dikaitkan dengan ulah teroris di negeri ini. Tak berlebihan jika kemudian Amerika Serikat (AS) mulai membidik pesantren sebagai basis terorisme di Indonesia. Dalam hal ini, salah satu yang paling dibidik adalah kurikulum dan pola pengajarannya.

Stigmatisasi terhadap pesantren sebagai sarang teroris ini, papar Mahrus, disebabkan adanya oknum pesantren yang terbukti melakukan tindakan teror. Para pelaku pemboman di Bali, Jakarta dan daerah-daerah lain yang kebetulan sebagian pelakunya adalah santri pondok pesantren, secara otomatis mengakibatkan citra buruk pondok pesantren di mata masyarakat Indonesia, dan bahkan masyarakat internasional.

“Mereka mencurigai pesantren telah menjadi ajang penyemaian teroris. Bahkan, ada pihak yang mengusulkan supaya kurikulum pondok pesantren diubah,” tandasnya.

Pahami jihad

Di sisi lain, Khoirul Fuad Yusuf menyatakan, konsep jihad dalam Islam memang dipelajari di pesantren. Namun ada beberapa kalangan yang salah dalam mengartikannya.

Jihad diartikan sebagai aktivitas mengangkat senjata dan membunuh musuh dalam kondisi apapun. Pemahaman semacam ini, katanya, merupakan pemahaman yang salah, dan inilah yang menimbulkan tuduhan bahwa kekerasan yang dilakukan sebagian umat Islam merupakan ajaran Islam itu sendiri.

“Islam sama sekali tidak membenarkan kekerasan, anarkis, dan terorisme. Di dalam kurikulum pendidikan pesantren juga tidak diajarkan kekerasan, apalagi tindakan teror,” tandas mantan peneliti senior di Litbang Depag RI.

Menurut Khoirul, jihad yang dipelajari di pesantren sangat berbeda dengan terorisme. “Jihad adalah salah satu metode dakwah sebagai pembelaan diri terhadap umat Islam, yaitu untuk mempertahankan agama, diri, harta dan kehormatan,” katanya.

“Hal ini tentunya sangat jauh berbeda dengan teror yang merupakan tindakan untuk menakut-nakuti, melakukan kekerasan sehingga menimbulkan korban harta atau jiwa.”
Sementara Isfah Abidal Ziz, fasilitator Pesantren Bela Negara mengatakan diklat ini menjadi penting mengingat makin kuatnya persaingan antara bangsa-bangsa.

“Bela negara sekarang ini tidak hanya tanggung jawab militer saja, juga para santri. Santri harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjaga keselamatan dan kejayaan bangsa sekarang,” ujarnya.